Akhirnya  Formula-E Tergelar, Dunia Terperangah

Karenanya, mengundang banyak tanya ketika muncul gerakan sistimatis yang berusaha menggagalkan perhelatan Formula-E sampai ke titik akhir. Sampai-sampai seluruh BUMN pun menolak untuk mensponsori perhelatan akbar yang bergengsi itu. Bahkan, terdapat rumor, ada pihak tertentu sengaja membeli 200 tiket tapi dengan maksud buruk (tidak nonton agar terlihat kosong saat perhelatan). Tapi, niat buruk itu gagal total (gatot). Fakta bicara: penonton membludak. Mencermati gerakan sistimatis untuk menggagalkan perhelatan Formula-E, mencul renungan, apakah mereka tak memahami makna implikatif-konstruktif dari penyelenggaraan Formula-E, padahal – menurut prediksi Bank Indonesia berpotensi membukukan profit antara Rp 400 – 500 milyar? Itu baru catatan material (keuangan). Bagaimana dengan nilai-nilai non-keuangan seperti tumbuhnya rasa percaya diri sebuah anak bangsa yang bisa disett up sebagai modalitas? Atau, apakah memang tidak mampu mengkalkulasi korelasi positif secara ekonomi, sosial dan lain-lain dari perhelatan itu? 

Memang, akan bermunculan rasa kagum dan apresiasi dari masyarakat domestik dan internasional terhadap sang tokoh penyelenggara Formua-E itu. Tapi, realisasi agenda itu merupakan kinerja kolaboratif. Tak ada cerita klaim monopoli. Karenanya, sungguh lucu dan menggelikan katika muncul gerakan akrobatik yang terus berusaha menggagallan perhelatan Formula-E di Jakarta hanya karena pikiran picik: dikaitkan nunasa politik kontestatif (kepresidenan). Cemburu buta yang stupid

Gubernur DKI Jakarta tegaskan dalam sambutannya jelang perhelatan Formula-E, “Perhelatan ini bukanlah kongres partai politik. Ini adalah pertandingan olah raga. Menjadi tanggung jawabnya selaku Kepala Daerah DKI Jakarta sesuai janji yang telah diprogramkan. Ditonton dunia”. Sebuah pernyataan yang sejatinya terlepas dari muatan politik praktis. Tapi, itulah sikap kalangan kontrarian yang cenderung menterjemahkan secara a priori dengan kaca mata politik. Penerjemahan politik yang out of line and disconnected. Masyarakat internasional pun jadi geli dan mentertawakan bacaan terjemahan itu.

Akhir kata, perhelatan Formula-E  sedari awal sudah muncul resistensi, tapi dari kalangan tertentu yang memang sempit jangkauan pemikirannya dan jauh dari karakter kenegarawanan. Kalangan kontrarian ini terus melancarkan agitasi dan manuvernya untuk menggagalkan perhelatan akbar yang bergengsi, berkelas dunia, sarat dimensi pro kemanusiaan, pro lingkungan dan kepentingan nasional. Ironis memang upaya destruktif itu. Tapi, rekayasa Allah jauh lebih hebat dibanding rekayasa manusia. Maka, dengan kehendak Alah, kita saksikan bersama paronama perhelatan Formula-E di International E-Prix Sircuit – Ancol (Jakarta). Namun, itulah kualitas indahnya perjuangan. Sungguh beda dibanding adegan balap motor di Mandhalika beberapa waktu lalu.

Jakarta, 4 Juni 2022

Penulis: Direktur Analisis Center for Public Policy Studies – Indonesia

Exit mobile version