Oleh: Yosef Junanto
Di tengah gempuran bencana Sumatera yang masih terasa dampaknya. Indonesia terus diliputi duka dan nestapa. Kali ini terjadi di Bekasi, salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat.
Bukan guncangan gempa bumi atau gemuruh letusan gunung berapi. Bekasi justru terasa ironi karena diselimuti korupsi.
Bekasi, baik kota maupun kabupaten, masih banyak kalangan yang menganggap daerah pinggiran, terisolir dan cenderung kumuh, meski pembangunan terus gencar dilakukan. Kabupaten Bekasi identik dengan kawasan industri transnasional yang tumbuh subur juga wilayah permukiman dan komersilnya.
Sedangkan Kota Bekasi terkenal sebagai kota penyangga yang strategis dan terus menggeliat pembangunannya. Selain itu kabupaten dan kota Bekasi, keduanya juga menjadi salah satu jalur produksi dan distribusi barang serta lintasan yang menghubungkan antar kota dan propinsi di Indonesia.
Pun demikian, Bekasi secara keseluruhan masih dianggap stereotif dan negatif oleh banyak kalangan. Kesan kotor, macet, banjir, banyak begal dll., masih kuat melekat pada daerah yang ikonik sejarah patriotismenya itu. Dalam dunia Maya, banyak netizen yang justru sempat mengolok-olok Bekasi sebagai daerah terbelakang, tidak ada dalam peta dan bahkan daerah yang berasal dari galaxy saking jauhnya.
Begitulah Bekasi, kota dan kabupaten yang menyimpan banyak aspek historis dan ideologis dalam perjalanan negara bangsa Indonesia khususnya tentang nasionalisme dan patriotisme yang ada di dalamnya. Betapapun terus mempercantik daerahnya dengan sentuhan pembangunan pesat dan modernitas, Bekasi masih menjadi daerah yang dinamikanya dianggap “underrated”, baik secara kultural dan struktural.
Ada disparitas yang menganga dalam hal budaya dan etos kerja yang selama ini terus berlangsung dalam masyarakat dan lingkungan pemerintahan di Bekasi. Masyarakat kota Bekasi khususnya penduduk asli atau pribumi dikenal masyarakat yang menjunjung tinggi budaya lokal dan sangat religius. Fakta sejarah menunjukkan ada ulama dan pejuang yakni KH. Noer Ali yang kini bergelar pahlawan nasional.
Namun seiring perkembangan zaman, semakin deras arus urbanisasi, Bekasi telah menjadi daerah heterogen dan majemuk. Budaya dan kearifan lokal Bekasi mulai terpinggirkan dan nyaris punah. Birokrasi juga mulai banyak diisi oleh orang-orang di luar Bekasi.
Terlebih karena Bekasi telah menjadi kabupaten dan kota urban serta banyak populasinya yang menjadi masyarakat komuter.
Realitas yang demikian, membuat penduduk Bekasi pada sebagian besarnya cenderung abai terhadap situasi dan kondisi daerahnya karena aktifitas kerja di luar kota. Sedangkan birokrasi pemerintahannya menjadi lebih dominan dan leluasa dengan kebijakannya, tanpa partisasi dan pengawasan publik yang maksimal. Stage holder dan civil society lainnya juga cenderung menjadi sangat pragmatis seiring daerah yang merangkak menuju metropolis berkarakter kapitalis dan transaksional.
Stigma Korupsi
Lebih dari satu dekade, pemerintahan Kabupaten dan kota Bekasi menyimpan wajah daerah yang sarat dan kerap diliputi distorsi. Bukan saja “abuse of power” dalam menjalankan roda pemerintahannya. Birokrasi pemerintahan, khususnya pada kepala derah di Bekasi telah dianggap langganan dan identik dengan korupsi.
“Extra Ordinary Crime” yang sering terjadi di Bekasi itu, bukan hanya sekedar fenomena, melainkan sudah menjadi habit. Tak cukup hanya pada kepala daerah, bahkan korupsi melibatkan birokrasi di bawah yang menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat. Bupat dan walikota, kepala dinas hingga kepala desa tak luput ikut menikmati korupsi. Konspirasi dan manipulasi yang dilakukan, menyeret banyak pihak termasuk korporasi dan politisi, menyebabkan korupsi semakin sulit ditanggulangi di Bekasi.
Publik Bekasi belum amnesia dari warisan dan tradisi korupsi di Bekasi, baik yang ada di kabupaten maupun kota. Ada Neneng Hasanah Yasin yang pernah menjabat bupati Bekasi. Kini berikutnya Ade Kuswara dan ayahnya HM. Kunang yang menjadi kepala desa. Ada Juga Mochtar Mohamad dan Rahmat Efendi bergiliran yang korupsi mencoreng kota Bekasi. Dari dua kepala daerah yang berturut-turut terlibat korupsi di Bekasi.
Menandakan ada masalah fundamental terkait meritokrasi dan betapa korupsi sudah menjadi tradisi di Bekasi.
Tak cukup kabupaten Bekasi dengan Kasus Ade Kuswara Kunang yang menyentak publik. Kota Bekasi juga dalam kecemasan dan bayang-bayang korupsi di kota Bekasi. Pasalnya, Walikota Bekasi aktif Tri Adhianto ditenggarai dipenuhi pelbagai skandal korupsi. Mulai dari isu keterlibatannya pada proyek pengadaan alat olah raga Dispora, jual beli jabatan, hingga, angaran rumah dinas walikota dan pelbagai kasus rentan korupsi lainnya di lingkungan pemerintahan Kota Bekasi.
Masyarakat kota Bekasi layak dan wajib mengawasi kinerja pemerintah kota Bekasi terlebih pada tindak tanduk kepala daerah. Sorotan dan persepsi publik yang kian menguat terhadap kinerja walikota Bekasi yang diduga terlibat banyak kasus korupsi, harus ditindaklanjuti oleh aparat hukum dan representasi kekuatan pengawasan publik.
Jangan sampai meminjam istilah dalam sepakbola, kota Bekasi kejebolan oleh hattrick korupsi. Jika Tri Adhianto tersandung korupsi dan gelaja itu mulai tampak, maka akan semakin menenggelamkan kota khususnya dan Bekasi pada umumnya, sebagai daerah dengan tradisi korupsi yang kuat. Masyarakat kota Bekasi, waspadalah, waspadalah. Mungkin setelah kabupaten, KPK mulai menjalar ke kota Bekasi.
Jangan sampai kotor kotanya, kotor juga pemerintahannya. Jangan karena macet jalannya, macet juga pengawasan publiknya. Jangan terus menjadi langganan banjir, banjir pula korupsinya. Jangan mencekam kriminalitas begalnya, kedaulatan dan hak masyarakat Bekasi ikut pula dibegal.
Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik IPPS Indonesia
