JAKARTA, Mediakarya – Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan, pemerintahan yang baru harus merealisasikan program Makan Bergizi Gratis (MBG), hal itu sebagai perwujudan janji Prabowo-Gibran saat kampanye.
Mengingat MBG memerlukan anggaran yang cukup besar, Didik menyarankan agar program tersebut dimulai dari wilayah miskin. Sehingga tidak mengganggu APBN.
Rektor universitas Paramadina itu juga mengingatkan bahwa program MBG ini seharusnya diwajibkan dan di desentralisasikan dengan UMKM di daerah-daerah meski anggarannya dari pusat.
“Karena jika dipusatkan dikhawatirkan akan menjadi sumber korupsi dan lain-lain. Jadi memang sudah harus diwajibkan. Hanya problemnya bagaimana gizinya cukup. Pada prinsipnya program MBG ini harus di desentralisasikan ke daerah dengan melibatkan UMKM lokal. Terutama difokuskan ke daerah-daerah yang rawan gizi,” ujar Didik dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Jumat (18/10/2024).
Namun demikian, guna menjaga standarisasi mutu program MBG, dia menyarankan agar diperlukan tim monitoring. Selain itu, UKM sendiri harus diajarkan soal standar mutu. Meski sebelumnya sudah pernah memiliki catering atau usaha makanan lainnya.
“Gunanya UKM daerah diajari, agar tahu bahwa kandungan gizi MBG harus diutamakan. Pelibatan Kementerian Kesehatan dan kampus-kampus sangat perlu dilakukan untuk mengajari pelatihan gizi, misalnya. MBG juga hendaknya difokuskan kepada SD dan SMP,” katanya.
Mengingat anggarannya terbatas, Didik berpendapat bagi daerah-daerah yang banyak berdiri perusahaan besar seperti di Kaltim, Aceh atau kota Surabaya pinggir, sumber-sumber dana lain yang sifatnya sosial di luar APBN, CSR, termasuk zakat, hendaknya dijadikan satu program saja.
Selain itu, kata Didik, masyarakat yang memiliki harta berlebih, agar diajak berderma untuk MBG, dengan masuk wilayah amal baik seperti zakat.
Adapun sasaran utama dari program MBG yang harus dicapai adalah selain mengatasi kerawanan pangan, akan tetapi kemampuan akademis siswa untuk matematika dan lainnya juga harus meningkat.
Namun demikian, kata Didik, yang harus diwaspadai dari program MBG ini pasti sudah diincar oleh para bandit ekonomi yang telah membidik anggaran.
“Misalnya untuk pengadaan daging akan dimonopoli oleh satu perusahaan yang memiliki kaitan dengan ketua partai ataupun elit-elit DPR,” sebutnya.
Oleh karena itu, pihaknya menyarankan agar program MBG ini harus ada kajian ekonomi politik dengan mewajibkan desentralisasi daerah dan UMKM setempat.
“Tidak boleh dipusatkan di Jakarta, dengan alasan standarisasi mutu, padahal bandit sedang berupaya untuk mengambil seluruh peluang bisnis itu, sehingga peluang distribusi tidak ada,” sarannya.
Didik mengingatkan agar pemerintah memiliki data daerah rawan pangan dan data UMKM daerah. Di antaranya melakukan survei feasibility study tentang pasokan-pasokan yang layak, feasible dan murah di daerah-daerah.
“Jadi tidak oleh pusat dengan outsourcing dikuasai hanya beberapa orang. Jangan sampai program MBG yang mulia itu malah menjadi ‘’racun’’ bagi ekonomi nasional,” pungkasnya. **