Kasus BLBI, Sebuah Episode Tak Pernah Kunjung Akhir

Oleh: Prof Dr M Arief Amrullah, SH, MHum

Dengan demikian, kemudahan-kemudahan yang diberikan melalui Pakto tersebut, belum menjamin ke arah kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tangguh sesuai dengan ide dasarnya, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, yaitu ambruknya sejumlah bank, seperti, antara lain, dalam kasus kredit macet yang menimpa 16 Bank Umum Swasta Nasional (BUSN), yang berakibat pada penutupan ke-16 bank tersebut pada tanggal 1 November 1997. Akibat selanjutnya, telah menimbulkan korban yang cukup besar, yaitu mulai dari nasabah, karyawan/wati yang harus kehilangan pekerjaannya, dan negara (hancurnya perekonomian nasional).

Persoalan yang muncul kemudian, adalah bagaimana keberlangsungan dana nasabah yang bersangkutan. Untuk menjamin dana nasabah yang disimpan dalam bank-bank yang terkena likuidasi itu, pemerintah berkeinginan membantu dengan tujuan menjaga stabilitas moneter nasional dan menjaga agar kepercayaan masyarakat terhadap bank tidak berkurang. Untuk itu, pemerintah menerbitkan kebijakan baru yang dituangkan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, yang pada hakikatnya dalam upaya untuk melindungi korban (nasabah), akan tetapi yang terjadi justru membuka peluang praktik-praktik yang menyalahi aturan.

Bahkan, hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan bahwa ada pemilik bank yang me-rush dana yang ada di banknya, sehingga BLBI yang dikucurkan pun bertambah besar (Listyorini, Menyoal Fungsi BI sebagai Lender of the Last Resort, Suara Pembaruan, Dalam Bank Indonesia, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), http://www.bi.go.id/bank_indonesia2/spesial/blbi/ ). Padahal, penyaluran BLBI itu adalah untuk menanggulangi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat di-rush oleh nasabahnya.

Oleh karena penyaluran BLBI dilakukan melalui mekanisme kliring, BI tidak dapat mengetahui apakah benar dana BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank. Di samping itu, keengganan BI pada waktu itu untuk melakukan stop kliring karena khawatir akan terjadi efek domino. Namun, kekhawatiran itu menurut BPK hanya didasarkan suatu teori yang belum pernah teruji kebenarannya. Permasalahan itu menjadi besar, karena sejak awal BI tidak tegas dalam menerapkan sanksi stop kliring, sehingga beberapa bank yang sudah lama bersaldo debet namun tidak dilakukan stop kliring. Akibat dari sikap BI yang tidak tegas  itu dimanfaatkan oleh bankir nakal.

Demikian juga sebagaimana dipaparkan dalam Center for Banking Crisis (Buku Putih, Jilid I, Jakarta, 1999: 10-13), Panja BLBI Komisi IX DPR-RI pada tanggal 6 Maret 2000 menyampaikan laporannya, bahwa sebelum krisis moneter pertengahan Juli 1997, bahkan sejak tahun 1995 sudah terdapat beberapa bank yang mengalami saldo debet yang berkepanjangan dan terus mendapat fasilitas bantuan likuiditas dari Bank Indonesia tanpa pernah mengalami stop kliring.

Bank-bank tersebut antara lain Bank Artha Prima, Bank lndustri, South East Asia Bank Ltd., Bank Pinaesan. Di samping itu, BPK-RI dalam siaran persnya tentang Hasil Audit Investigasi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI, antara lain, mengemukakan bahwa kekeliruan BI dalam memberikan bantuan likuiditas adalah pada saat BI tidak melakukan sanksi stop kliring kepada bank-bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatif. Ketidaktegasan BI dalam menerapkan sanksi stop kliring dimanfaatkan oleh bankir nakal sehingga mereka terus bersaldo debet.

Untuk memulihkan kepercayaan yang sudah pudar itu, keluarlah kebijakan pemberian jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur, yaitu berupa penyaluran BLBI, yang ternyata telah disalahgunakan oleh bank penerima “bantuan”. Akibatnya, membawa permasalahan yang berkepanjangan hingga kini dan negara pun dirugikan. Penyelesaian yang dilakukan melalui instrument Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), yang disertai pula dengan klausul “Release and discharge” yang menyatakan bahwa tagihan BLBI menjadi lunas dan tidak akan melakukan penuntutan pidana atas pelanggaran yang dilakukan oleh bank serta me-release semua jaminan yang dahulu diikat untuk BLBI.

Pada akhirnya, permasalahan itu ditutup dengan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, tanggal 30 Desember 2002, yang pada dasarnya bertentangan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

Adanya kebijakan yang dikemas dalam Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 itu, di samping telah menciptakan ketidaktertiban hukum (tidak taat asas), baik dari segi hirarki perundang-undangan maupun asas-asas hukum lex superiori derogate legi enferiori, artinya perundang-undangan yang lebih tinggi menyisihkan perundang-undangan yang lebih rendah. Ini berarti, seharusnya Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tersebut harus dianggap tidak pernah ada. Kemauan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002, merupakan implementasi dari kebijakan sesaat dalam rangka untuk mempasilitasi kepentingan pelaku (konglomerat).

Exit mobile version