Selanjutnya, tahun 2019, LPD Desa Adat Anturan memiliki aktiva berupa tanah kaveling senilai Rp 28.301.572.500 yang tersebar di 34 lokasi yang berbeda. “Tapi dalam aktiva lain-lain berupa tanah kaveling itu juga dimasukkan Dana Punia (Sukarela) senilai Rp 500 juta,” katanya.
Dari jumlah kredit yang disalurkan pada tahun 2019 sebesar Rp 244.558.694.000, terdapat tunggakan bunga yang belum dibayar oleh nasabah sebesar Rp 12.293.521.600. Tunggakan itu lalu dijadikan kredit. “Saat itu tidak ada perjanjian kredit antara nasabah dengan pihak Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Anturan dan juga kredit yang tidak ada dokumen kreditnya (kredit fiktif) sebesar Rp 150.433.420.956,” ujar Kajari.
Ia mengatakan, dalam pengelolaan LPD Desa Adat Anturan tahun 2019 terdapat selisih antara modal sebesar Rp 29.262.215.507,50 dan simpanan masyarakat Rp 253.981.825.542,00 dengan total aset Rp 146.175.646.344,00. Dikatakannya, usaha kaveling tanah LPD Desa Adat Anturan dikelola atau dilaksanakan oleh tersangka selaku Ketua LPD Desa Adat Anturan.
Lalu, dalam pengelolaan usaha kaveling tanah tersebut tidak memiliki tenaga pemasaran. Untuk pemasaran tanah kaveling tersebut menggunakan jasa perantara (makelar) dengan memberikan fee sebesar 5 persen dari hasil penjualan dan disimpan dalam rekening LPD.