Oleh: R. Haidar Alwi
Komite Reformasi Polri harus menjadi momentum strategis untuk memperkuat institusi kepolisian. Dalam konteks Indonesia pasca disahkannya Revisi Undang Undang TNI, urgensi memperkuat Polri menjadi jauh lebih mendesak.
Revisi UU TNI telah memperluas ruang gerak militer di ranah sipil melalui penambahan jabatan yang dapat diisi oleh pejabat aktif di kementerian dan lembaga non-pertahanan.
Jika hal itu tidak diimbangi dengan penguatan institusi Polri sebagai pilar utama keamanan dalam negeri yang bersifat sipil, maka keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer yang menjadi fondasi Reformasi 1998 berpotensi tergoncang.
Kehadiran Komite Reformasi Polri seharusnya sebagai upaya memperdalam reformasi sektor keamanan, bukan sebagai jalan untuk menempatkan Polri di bawah kendali politik atau lembaga lain.
Polri harus diperkuat dalam kapasitas kelembagaan, profesionalisme, dan akuntabilitas publiknya agar mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum yang independen, efisien, dan modern.
Dalam arsitektur demokrasi, Polri adalah representasi kekuasaan sipil yang menegakkan hukum dengan pendekatan keadilan, bukan kekuatan bersenjata. Oleh karena itu, memperlemah Polri berarti memperlemah demokrasi itu sendiri.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa setiap kali militer memperoleh ruang terlalu besar dalam urusan sipil, prinsip-prinsip demokrasi cenderung tergerus.
Pengalaman masa Orde Baru menjadi bukti paling konkret bahwa dominasi militer dalam politik, ekonomi, dan pemerintahan melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menutup ruang bagi kontrol publik.
Reformasi 1998 berupaya mendefinisikan ketimpangan tersebut melalui pemisahan TNI dan Polri serta menegaskan kembali supremasi sipil. Namun, dua dekade kemudian, semangat reformasi itu kini kembali diuji oleh dinamika politik dan regulasi yang memberi militer akses lebih luas ke ranah sipil.
Jika Komite Reformasi Polri tidak diarahkan untuk memperkuat posisi Polri sebagai institusi sipil yang kuat dan berwibawa, maka agenda besar reformasi sektor keamanan berisiko tereduksi menjadi sekadar retorika.
Polri harus diposisikan bukan sebagai kompetitor militer, tetapi sebagai penyeimbang. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kekuasaan harus saling mengontrol dan menyeimbangkan.
TNI berperan menjaga keamanan dan pertahanan negara dari ancaman luar, sementara Polri menjaga stabilitas internal, menegakkan hukum, dan melindungi warga negara. Ketika peran ini kabur, maka yang terancam bukan hanya institusi, tetapi juga tatanan demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, penguatan Polri melalui Komite Reformasi Polri harus diarahkan pada tiga dimensi utama: kapasitas profesional, integritas moral, dan legitimasi publik. Polri harus dibekali sumber daya manusia unggul, sistem rekrutmen dan promosi berbasis meritokrasi, serta mekanisme pengawasan eksternal yang kuat agar tidak mudah dipolitisasi.
Keseimbangan antara kekuasaan sipil dan militer bukan hanya soal struktur kelembagaan, tetapi juga mencakup masa depan demokrasi Indonesia.
Komite Reformasi Polri harus memastikan bahwa di tengah menguatnya peran militer dalam kehidupan sipil, Polri justru tampil sebagai penjaga garis sipil yang tegak, profesional, dan berpihak kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan.
Jika hal itu gagal diwujudkan, maka Indonesia berisiko kembali tergelincir ke masa ketika kekuasaan bersenjata lebih dominan daripada kekuasaan hukum dan rakyat kehilangan kedaulatannya.
Penulis: Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB
