Memusiumkan Neoliberalisme

Prof. Dr. Yudhie Haryono

Oleh: Prof. Dr. Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre

Mengapa kaum miskin dan kemiskinan naik di tengah keberlimpahan sumber daya alam? Apa yang harus kita lakukan? Ini pertanyaan genting dan sangat penting. Tetapi sebelum menjawabnya, kita harus punya titik pijak yang sama dulu. Yaitu, kita harus sadar bahwa “colonialism and amoralism didn’t end, it changed shape.”

Karena itu tentu saja, negara ini dibuat dan diproklamasikan oleh para pendiri bukan untuk tunduk pada pikiran dan kurikulum negara lain (penjajah)—sebaliknya posisi hidupnya untuk menaklukkan dunia dan menunjukkan diri berkelimpahan dalam segala hal: intelektual, spiritual dan kapital.

Sayangnya, kita sedang dalam derap zaman ketamakan, di mana pikiran “memiliki” telah menjadi candu. Hidup jadi ajang kemelekatan. Zaman kesugihan. Kemaksiatan jadi kebiasaan. Kebodohan jadi tuntunan. Kejahatan jadi tontonan. Semua orang, gila harta dan kekuasaan. Sungguh, kita tak hendak mengatakan kemiskinan ini pemiskinan sehingga kematian nalar menggejala dan orang mendendam pada kekayaan.

Lalu, aturan, etika dan norma sudah tidak dipedulikan. Semua penghuni negeri ini terjebak pada keduniawian. Mereka lupa, menjadi kaya itu mudah, bagian tersulitnya justru menemukan harta yang halal untuk dimiliki. Terlebih, semua kini sudah haram.

Pertanyaanya kini, “bisakah kita menolkan kemiskinan, menghapus ketimpangan, membuat KKN jadi tradisi memalukan, pertumbuhan merata dan berkeadilan sehingga: pangan likuid, sandang merata, kesehatan untuk semua, papan untuk semua, pendidikan untuk semua dan keadilan mentradisi?”

Jawabannya jelas dan tegas: bisa. Sebab, meningkatnya kemiskinan adalah karena pemiskinan oleh berkecambahnya agensi pengkhianat neoliberal di istana dan suburnya kutukan keberlimpahan (paradox of plenty). Dua problema ini harus diselesaikan dengan sebelas cara.

Pertama, balik arah ke pancasila dan konstitusi asli. Hal ini agar kita menjadi negara pancasila, bukan negara swasta yang dikelola oleh para ekonom neoliberal dan oligarki. Kedua, hadirkan undang-undang yang memihak warga-negara. Hal ini agar dimensi keadilan sosial merealitas, kejayaan milik bersama. Ketiga, lakukan reorientasi pendidikan dan kurikulumnya. Hal ini agar lahir patriot pancasila yang punya pengetahuan “kepentingan nasional.”

Keempat, ganti semua agensi neoliberal di semua lembaga negara. Hal ini agar kita tak kebanjiran pengkhianatan dan kebocoran data serta kekayaan negara. Kelima, segera lakukan diversifikasi ekonomi. Hal ini agar sektor ekonomi lain selain sumber daya alam, seperti industri manufaktur, pariwisata bahkan teknologi berkembang dan maju.

Keenam, reorientasi pengelolaan sumber daya alam yang jenius dan lestari. Mengelola sumber daya alam dengan lestari, termasuk pengelolaan lingkungan dan sosial, adalah untuk memastikan bahwa manfaatnya dapat dinikmati oleh semua warga-negara. Ketujuh, menajamkan investasi pada pendidikan dan pelatihan. Hal ini untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi warga-negara, sehingga mereka dapat memanfaatkan semua peluang selama hidupnya.

Kedelapan, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hal ini untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan: memastikan semua kekuasaan demi seluruh warga-negara, bukan untuk penjahat negara. Kesembilan, pengembangan infrastruktur yang ramah lingkungan. Hal ini untuk mendukung pemerataan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup seluruh warga-negara.

Kesepuluh, pengelolaan pendapatan yang bijak, terarah, cepat dan tepat. Hal ini agar hasilnya dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh warga-negara berjangka panjang. Kesebelas, penguatan dan modernisasi kelembagaan. Hal ini untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dan keuangan negara dilakukan dengan baik, bersih dan benar.

Akhirnya, dengan melakukan sebelas langkah itu, negara kita yang kaya akan sumber daya alam dapat mengatasi paradoks keberlimpahan dan meningkatkan stabilitas kesejahteraan. Pada saat yang sama, kita akan terbebas dari agensi neoliberal dan kurikulumnya yang menyiksa.

Dari langkah-langkah ini kita yakin selalu ada jalan, metoda dan solusi atas problema di sekitar kenegaraan. Yang jadi soal, kita mau atau tidak? Itu saja.(*)

Exit mobile version