Penerimaan Cekak, Program Unggulan Membengkak, INDEF Tanggapi atas Nota Keuangan RAPBN 2026

Ilustrasi (Foto: Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Ekonom Senior INDEF, M. Fadhil Hasan, menyatakan APBN 2026 akan menjadi penentu arah ekonomi Indonesia, dengan pendekatan yang berbeda dari Presiden Jokowi.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Prabowo lebih menekankan ideologi dan paradigma ekonomi sesuai Pasal 33 UUD 1945, yaitu peran dominan negara dalam mengelola sumber daya strategis.

“Fokus utamanya pada hilirisasi, ketahanan pangan, swasembada energi, serta kebijakan proteksionis dalam kerangka “Berdikari.” RAPBN dijadikan instrumen untuk mendukung program tersebut, termasuk investasi besar di sektor hilirisasi,” ujar Fadhil Hasan, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Senin (18/8/2025).

Menurutnya, meski defisit diproyeksikan menurun, kebijakan fiskal tetap ekspansif dengan potensi menimbulkan ketegangan dengan investor asing yang kurang menyukai proteksionisme.

Dia pun menjelaskan, meski dianggap prudent, RAPBN 2026 dipandang ambisius oleh banyak pengamat. Ada tantangan dalam konsistensi data pertumbuhan ekonomi serta potensi inkonsistensi kebijakan.

“Karena di satu sisi pemerintah mendorong intervensi negara, sementara di sisi lain terikat pada kesepakatan internasional yang menuntut deregulasi,” katanya.

“Pidato Prabowo menandai pergeseran penting: bukan hanya angka, tapi ideologi pembangunan yang lebih nasionalis,” imbuh Fadhil.

Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada efektivitas birokrasi serta konsistensi pelaksanaan di tengah dinamika global.

Sementara, Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto, menyatakan meskipun RAPBN 2026 menargetkan pertumbuhan ekonomi optimis di 5,4% dengan inflasi 2,5%, nilai tukar Rp16.500/US$, dan yield SBN 10 tahun sebesar 6,9%, namun tantangan besar muncul dari sisi penerimaan negara yang melemah serta biaya utang yang tinggi.

Dia berpandangan, target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% sangat optimis, sementara realisasi 2023–2025 selalu di bawah target.

“Oleh karena itu, upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi butuh strategi ekstra. Target inflasi 2026 sebesar 2,5% relatif realistis, sejalan dengan capaian sebelumnya yang cenderung rendah,” ungkap Eko.

Namun, potensi lonjakan harga pangan tetap menjadi risiko utama terhadap daya beli masyarakat. Asumsi nilai tukar Rp16.500/US$, lebih pesimistis dibanding target sebelumnya.

Perlu strategi penguatan/apresiasi Rupiah kembali ke bawah Rp16.000 agar stabilitas makro lebih terjaga. Yield SBN Indonesia masih mahal (target 6,9% di 2026) dibanding negara lain.

“Ini membebani fiskal dan bisa mengganggu sustainabilitas jika tidak ditekan ke kisaran 6%. Gap total penerimaan negara pada RAPBN 2026 terhadap outlook 2025 mencapai Rp282,2 triliun, sehingga strategi peningkatan penerimaan harus dilakukan tanpa menekan basis pajak yang sudah patuh,” jelasnya Eko.

Terakhir, upaya mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4% hanya mungkin bila pemerintah memprioritaskan penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli, optimalisasi ekspor, masuknya investasi yang memutar uangnya di dalam negeri, dan efisiensi birokrasi.

Terpisah, Peneliti Pusat dan Keuangan INDEF, Riza Annisa Pujarama, menyebutkan bahwa konsekuensi dari banyaknya program prioritas yang dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat adalah terjadi penurunan belanja TKDD yang cukup drastis dibandingkan outlook 2025 yaitu sebesar 214.07 triliun rupiah pada RAPBN 2026.

“Hal ini tentu akan mempengaruhi APBD daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, sehingga perlu ada strategi agar pemerintah daerah masih bisa berjalan. Sementara itu untuk Belanja Pemerintah Pusat,” ungkap Riza.

Riza menyoroti Belanja Modal yang share-nya hanya 8,74 persen, sementara Belanja Bunga Utang mencapai 19,11 persen, padahal Belanja Modal punya dampak berganda bagi ekonomi.

Mengulas tentang anggaran pendidikan yang tengah menjadi sorotan. Pada RAPBN 2026, komposisi Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat melonjak ke 61,69 persen.

“Hal tersebut sejalan dengan belanja prioritas yang kewenangannya dipegang pusat yaitu: MBG, sekolah unggulan, sekolah rakyat, dan revitalisasi sekolah. Riza juga menyoroti sejumlah Kementerian/Lembaga yang mengampu fungsi pendidikan perlu diperjelas programnya apa karena terdapat polemik di publik bahwa anggaran yang diampu K/L tersebut dipakai untuk sekolah kedinasan,” kata Riza.

Terkait pembiayaan, Riza menegaskan bahwa penarikan utang perlu berhati-hati karena biaya berutang dari SBN mahal, yang terlihat dari Beban Bunga Utang yang mencapai 599,44 triliun rupiah di RAPBN 2026.

“Kami juga menyoroti kemampuan penerimaan perpajakan yang melemah trennya, padahal beban pembayaran utang jatuh tempo ditambah bunga utang di 2026 berdasarkan dokumen RAPBN 2026 mencapai 1.433, 4 triliun rupiah, lebih tinggi dari 2025,” ucap Riza.

Sebagai penutup Riza menyebutkan bahwa untuk bisa mencapai target di 2026 perlu dilakukan. Yang pertama penguatan sinergi dan harmonisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam merealisasikan program prioritas.

“Selanjutnya, pemerintah perlu segera mendorong produktivitas di sektor riil yang memiliki magnitude dan dampak berganda yang luas dan meningkatkan daya beli masyarakat,” pungkasnya. **

Exit mobile version