JAKARTA, Mediakarya – Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menilai skema Pilkada jalan tangah merupakan inovasi dengan melaksanakan metode campuran.
Di mana, tahap elektoral (rakyat) di dalam pileg, yang memilih 3 calon anggota DPRD (parlemen) dengan suara tertinggi di suatu daerah otomatis menjadi kandidat kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota).
Selanjutnya, institusional (perwakilan). Setelah DPRD terbentuk, DPRD memilih satu dari 3 kandidat tersebut sebagai kepala daerah.
Menurutnya, kelebihan pilkada metode campuran tetap dapat menjaga Unsur Kedaulatan Rakyat karena rakyat tetap menentukan melalui suara terbanyak di pileg. Kandidat kepala daerah tetap punya legitimasi elektoral nyata, bukan hasil lobi elite semata.
“Jadi metode campuran ini bukan kembali lagi ke masa Orde Baru, yakni pilkada tertutup, tetapi merupakan pelaksanaan demokrasi berlapis (two-step legitimacy) untuk menghindari pemilihan langsung yang tercemar kotor dengan politik uang,” ujar Prof Didik dalam keterangan tertulisnya kepada Mediakarya, Selasa (30/12/2025).
Kelebihan lain dari Metode Campuran ini adalah menekan biaya politik tinggi dan sangat mahal. Pasalnya, Pilkada langsung saat ini memicu biaya kampanye sangat mahal, bersaing dengan cara kotor, politik uang.
Proses pilkada yang terjadi adalah praktek ilegal, pelacuran politik dimana yang memiliki uang dapat membeli suara dan setelah terpilih harus mengembalikan dana kampanye tersebut dengan cara korupsi. Praktek demokrasi langsung seperti ini kemudian muncul ketergantungan kandidat pada cukong.
“Tetapi dengan pilkada jalan tengah kandidat terpilih di dalam pileg, tidak ada kampanye pilkada dengan politik uang seperti biasanya. Efek penting dari cara ini adalah mengurangi insentif “balik modal” setelah menjabat,” jelasnya.
Namun demikian, kelemahan cara ini juga sangat gamblang, yakni ada potensi transaksi politik di DPRD. Pemilihan tahap kedua di level institusi berisiko lobi tertutup, barter jabatan, dan politik fraksi yang menyimpang.
Dia pun menyebut, bahwa risiko oligarkisasi dan cukong tetap ada, hanya berpindah arena. Pemilihan tahap kedua ada ketergantungan pada Kualitas DPRD. Dua faktor sangat menentukan dalam tahap ini, yaitu integritas anggota DPRD, dan transparansi proses pemilihan.
“Jika aturan main lemah dan DPRD korup, maka sistem apa pun tidak akan bermakna. Kita bisa kembali lagi ke pilkada langsung yang tercemar dengan politik uang dan pelacuran politik di lapangan,” katanya.
Karena itu, ketika pemilihan lewat DPRD, maka dibuat aturan yang ketat seperti pemilihan Paus. Anggota yang mempunyai hak suara dikendalikan dengan berbagai aturan untuk menghindari suap, seperti wajib cctv di rumah masing-masing, dikumpulkan selama beberapa hari di kantor DPRD dan hotel dengan pengawasan KPK, dan berbagai cara lainnya.
Kehadiaran lembaga hukum perlu, seperti KPK dan kejaksaan. Dengan cara mengontrol pemilik suara (50-100 orang anggota DPRD), maka potensi politik uang dan korupsi pasca-terpilih menurun.
Oleh karena itu, lanjut Prof Didik, agar tahap pemilihan lebih sukses, maka buat aaturan main UU, dimana (1) Pemungutan suara DPRD terbuka & disiarkan publik; (2) Larangan keras transaksi politik; (3) Rekam jejak dan uji publik 3 kandidat; (4) Sanksi pidana berat untuk suap pemilihan; (5) kehadiran saksi ahli dari aparat hukum KPK dan kejaksaan; (6) saksi dari elemen masyarakat, kampus, civil society.
