Prabowo Subianto Lantik Djamari Chaniago dan Ahmad Dofiri:  Saatnya Reformasi TNI dan Polri Kembali ke Khittah

Sekjen LPKAN Abdul Rasyid. (Foto: Mediakarya)
  1. Menjaga agar demokrasi tidak terdistorsi oleh dominasi kekuatan bersenjata.
  2. Menjamin bahwa militer, kepolisian, dan aparat penegak hukum hanya berfungsi sebagai alat negara, bukan aktor politik independen.
  3. Menegaskan bahwa pemerintahan sipil bertanggung jawab kepada rakyat melalui mekanisme pemilu, parlemen, dan hukum.

Dalam konteks Indonesia, supremasi sipil termaktub dalam UUD 1945, terutama melalui prinsip pemisahan fungsi militer (TNI sebagai alat negara dalam pertahanan, Polri sebagai alat negara dalam menjaga keamanan, ketertiban, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan aparat penegak hukum)

Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dan Polri, DPR sebagai lembaga legislatif, serta Menko Polkam sebagai pengendali kebijakan politik dan keamanan, memiliki tanggung jawab besar memastikan bahwa supremasi sipil ditegakkan. Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi slogan kosong.

Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Negara Hukum

  1. Keterkaitan Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Negera Hukum dapat dirumuskan sebagai berikut
  2. Demokrasi memberikan legitimasi kepada rakyat untuk memilih pemimpin sipil. Supremasi sipil memastikan aparat negara tunduk pada otoritas sipil, bukan sebaliknya.
  3. Negara hukum menegakkan aturan yang membatasi kekuasaan, sehingga baik sipil maupun aparat wajib tunduk pada hukum.

Tanpa supremasi sipil, demokrasi akan mudah diganggu oleh intervensi militer atau aparat. Sebaliknya, tanpa negara hukum, supremasi sipil bisa berubah menjadi otoritarianisme sipil. Maka, demokrasi, supremasi sipil, dan negara hukum adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pertanyaannya kini, apakah pemerintah akan menjawab krisis ini dengan keberanian melakukan reformasi TNI dan Polri, atau justru membiarkannya menjadi lonceng kematian bagi demokrasi di Republik Indonesia ?

TNI: Dari Dwifungsi ke Alat Pertahanan Negara

Sejarah mencatat bahwa militer Indonesia sempat menjalankan dwifungsi ABRI, di mana TNI tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam ranah politik dan pemerintahan.

Masa itu melahirkan banyak distorsi dalam kehidupan bernegara, termasuk berkurangnya kontrol sipil atas militer.

Reformasi 1998 menghapus dwifungsi ABRI, memisahkan TNI dan Polri, serta menegaskan kembali TNI sebagai alat pertahanan negara.

Konstitusi menggariskan tugas TNI dalam Pasal 10 UUD 1945, sedangkan UU No. 34 Tahun 2004 memperjelas bahwa TNI berfungsi untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer.

Namun, reformasi belum selesai. Masih ada tarik-menarik kepentingan politik terhadap TNI, baik melalui rekrutmen, promosi jabatan, maupun penugasan di luar fungsi pertahanan. Padahal, Pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004 sudah menegaskan larangan prajurit TNI terlibat dalam politik praktis.

Netralitas politik adalah syarat mutlak agar TNI tetap dipercaya rakyat sebagai benteng pertahanan bangsa. Reformasi TNI harus diarahkan pada tiga agenda utama:
(1) penerapan meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi,

(2) modernisasi alutsista dan pendidikan, serta

(3) penguatan doktrin pertahanan negara.

Dengan tiga poin tersebut, TNI bisa benar-benar kembali ke khitahnya ; alat pertahanan, bukan alat politik.

Polri: Dari Penguasa Jalanan ke Pelayan Masyarakat

Jika TNI menghadapi tantangan netralitas politik, maka Polri menghadapi masalah krisis integritas.

Sejumlah kasus pungutan liar, gratifikasi, suap, dan nepotisme telah mencoreng citra kepolisian. Puncaknya adalah kasus Ferdy Sambo, yang bukan hanya kriminal, tetapi juga menunjukkan bagaimana kuasa aparat bisa disalahgunakan secara sistematis.

Secara hukum, kedudukan Polri jelas diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Hal ini diperkuat oleh UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun dalam praktik, citra Polri sering kali berlawanan dengan mandat konstitusi. Alih-alih hadir sebagai pelindung masyarakat, sebagian aparat justru dipersepsikan sebagai “penguasa jalanan” yang lebih sibuk mengatur ketimbang melayani.

Menjawab hal tersebut, Reformasi Polri harus bertumpu pada dua hal:

(1) penegakan integritas moral melalui kode etik profesi (Perkap No. 14 Tahun 2011) dan sistem pengawasan yang ketat, serta

(2) pembenahan sistem kelembagaan agar promosi dan jabatan benar-benar berdasarkan merit, bukan kedekatan atau transaksi.

Polisi ideal bukanlah mereka yang ditakuti masyarakat, melainkan yang dipercaya dan dihormati karena profesionalisme serta dedikasinya dalam menjaga keadilan sosial.

Reformasi TNI – Polri Momentum Perubahan – “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”

Saat ini, bangsa Indonesia memiliki momentum untuk mempercepat reformasi bidang pertahanan, keamanan dan ketertiban.

Exit mobile version