Rekening Dormant Pintu Rahasia yang Bisa Dibuka Kepala Cabang Bank

Ilustrasi (Ist)

Oleh: Iskandar Sitorus

Rekening dormant adalah rekening yang sudah lama tidak dipakai. Secara teori, rekening ini hanya tidur, menunggu pemilik sah atau ahli warisnya datang membawa dokumen lengkap. Tapi dalam praktiknya, rekening ini sering jadi target empuk sindikat kejahatan keuangan. Kenapa? Karena saldo yang mengendap tetap tercatat sebagai kewajiban bank, namun sering kali luput dari pengawasan.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 2015 sudah berulang kali menemukan: ada ribuan rekening dormant di pemerintah daerah, bahkan saldo miliaran rupiah tidak pernah direkonsiliasi. Itu artinya, ada “lubang” dalam pagar sistem keuangan kita yang bisa disusupi.

Benarkah kepala cabang bank bisa menguras rekening dormant?

Pertanyaan ini sering muncul. Jawabannya, tentu tidak mungkin seorang Kepala Cabang (Kacab) sendirian mencairkan rekening dormant.

Namun, dalam sistem perbankan kita, Kacab memang punya peran strategis. Otorisasi final yakni tanda tangan atau kode khususnya, sering jadi syarat terakhir agar dana bisa cair. Jadi, kalau ada kolusi antara pegawai bank (customer service, supervisor, teller) dengan Kacab yang lalai atau bahkan ikut bermain, rekening dormant bisa saja dicairkan secara melawan hukum.

Inilah titik lemah yang dimanfaatkan oleh sindikat. Mereka tahu, Kacab adalah “pintu gerbang” terakhir. Kalau pintu ini bisa dibuka dengan suap, bujuk rayu, atau dokumen palsu maka aliran uang akan berjalan.

Apa kata hukum dan regulasi?

Aturan kita sebenarnya sudah sangat jelas dan ketat:

Undang-Undang Perbankan (1998) menyebut bank wajib jalankan prinsip kehati-hatian dan punya pengendalian internal yang kuat.

POJK APU-PPT (2018) menentukan setiap rekening dormant yang ingin diaktifkan lagi harus melewati verifikasi identitas ketat, termasuk biometrik, dan wajib dilaporkan ke PPATK jika mencurigakan.

UU Tindak Pidana Pencucian Uang (2010) mengatur dana dormant yang dicairkan secara ilegal bisa jadi tindak pidana pencucian uang.

KUHP memuat: jika ada unsur penipuan, penggelapan, atau pembiaran disengaja (fraud by omission), maka pelaku bisa dijerat pidana.

Artinya, hukum sudah ada. Tetapi, yang jadi persoalan adalah bagaimana bank benar-benar menerapkannya di lapangan.

Apa yang terbukti dari audit BPK?

BPK menemukan pola berulang selama hampir sepuluh tahun terakhir:

Exit mobile version