Sisi Lain di Balik Kasus Hukum Rahmat Effendi

Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, saat menjajal alat pencacah sampah manual

Melihat prestasi dan pengghargaannya, cukup mengejutkan jika Pepen terjerat kasus korupsi. Bagi masyarakat maupun simpatisan Pepen yang ikut merasakan dampak positif dari kebijakan Pepen selama berkuasa, peristiwa OTT itu tentu sangat mengagetkan.

Tapi bagi lawan politik maupun masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan Pepen selama berkuasa, peristiwa yang menimpa Wali Kota nonaktif itu tentu disambut sinis. Sehingga diharapkan peta politik Kota Bekasi ke depan berubah.

Namun, tidak dipungkiri juga bahwa korupsi kepala daerah bukan hal baru. Pasca otonomi daerah dan pilkada langsung, kepala daerah memiliki kekuasaan yang lebih besar, sehingga potensi korupsi juga tentu saja meningkat.

Akibatnya, korupsi yang dahulu tersentralisir di Jakarta, sekarang malah ikut tersdesentralisir. Di beberapa daerah, korupsi bahkan seolah menjadi warisan kepala daerah kepada penerusnya.

Biaya Pilitik yang Tinggi

Berdasarkan catatan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), bahwa tingginya angka korupsi di daerah, selain karena nafsu kekuasaan, juga disebabkan permasalahan lainnya seperti biaya politik yang tinggi.

Membengkaknya biaya politik kemudian mendorong kandidat untuk mencari sumber pendanaan lain. Fenomena ini ditambah dengan profesionalisasi kegiatan politik seperti biaya kampanye, polling, iklan di media massa, hingga konsultan politik, yang kesemuanya perlu pembiayaan (Falguera et.al., 2014).

Di sisi lain, kandidat juga tidak memiliki akar di masyarakat, layaknya parpol yang tidak memiliki kedekatan ideologis dengan masyarakat dan cenderung sekedar menjadi perahu bagi segelintir individu (Castle, 1970).

Hal ini menyebabkan kampanye harus digencarkan dan berbiaya mahal. Banyaknya uang yang dikeluarkan, akhirnya mendorong para calon untuk ‘balik modal’, sehingga mencari banyak sumber pendanaan, termasuk korupsi.
Porsi paling besar dari biaya politik adalah dana kampanye.

Berdasarkan riset KPK, seorang calon bupati/walikota membutuhkan Rp 20 – 30 Miliar, dan calon gubernur membutuhkan Rp 20 – 100 Miliar untuk pencalonannya (KPK, 2015).

Exit mobile version