Kebangkitan Atau Kebangkrutan Bangsa

Prof. Yudhie Haryono

Olah: Yudhie Haryono

Meluruh. Pelan dan pasti runtuh. Kolumnis Agus Maksum (2025) menyebutnya dengan istilah “pagar kita dirobohkan dari dalam.” Gempita KKN, tingginya angka kemiskinan, defisit nutrisi kewarasan, juara UMR terendah, lumpuhnya hukum adalah panca problema yang mendaraskan kita gelap: segelap-gelapnya. Singkatnya sedang terjadi “operasi kerentanan di jantung kebangsaan.”

Tentu saja antitesanya adalah kerja raksasa; cerdas dan jenius; menyemesta dan bergelombang. Terlebih, kesadaran kebangkitan itu menunjukkan bahwa kebenaran dan kemenangan itu diperjuangkan dan dijihadkan. Keduanya tidak didapatkan dan diwarisi dengan gratisan. Para patriot sejati yang nusantarais harus terus belajar, bekerja, berdoa dan bersemesta karena tahu betapa sempitnya kesempatan membangkitkan dan menegakkannya.

Itu artinya, di repubik kita ini, ketabahan, kesabaran, keikhlasan, kelenturan dan kebaikan dalam menghadapi keluruhan, keburukan dan kebangkrutannya harus kuat dan kokoh. Mental dan karakternya harus seperti pohon yang tetap memberikan buah meski disiram pupuk kandang yang bau serta menjijikkan.

Di republik ini, para patriot pancasila sebaiknya tetap bersikap baik dan teguh meskipun diperlakukan sangat buruk. Sebab, ini adalah praktik tentang keikhlasan, kemuliaan akhlak, moral pejuang dan etika keteguhan hati.

Mereka harus merefleksikan sambil memproyeksikan mentalitas para pendiri republik yang mempelajari kebahagiaan dari kepedihan; pengetahuan dari kegelapan; kebisuan dari kerinduan. Mereka harus memahami bahwa masa lalu dan kehidupan itu selalu menarik untuk direnungkan, tetapi mengerikan untuk dikutuk, terkadang menjengkelkan untuk dikenang. Masalah besarnya, dari sejarahlah kita harus menanam amal bajik dan warisan terbaik.

Di sini kita menyadari bahwa kebangkitan nasional harus dibangkitkan kembali. Dengan apa? Dengan cinta dan kasih sayang: semangat dan fokus. Tetapi, keduanya tidak tumbuh dengan kaki yang diam, tangan yang kaku dan mulut yang terkunci. Sebaliknya dengan gerak cerdas dan jenius serta berkelanjutan.

Pertanyaannya adalah, “nasionalisme yang bagaimana?” Dalam pengertian yang lebih subtantif bagi kita kini adalah nasionalisme sebagai kekuatan bersama dalam kesamaan kewarganegaraan dari semua etnis, agama dan budaya dalam suatu bangsa untuk adil, sentosa dan martabatif.

Nasionalisme inilah tampilan identitasnya, citra dan postulatnya. Konsekuensi dari pergeseran definisi nasionalisme yang kuno ke yang kekinian membawa tanggungjawab bahwa warga negara tidak lagi bergantung pada identitas nasional yang abstrak namun lebih kepada identitas yang lebih konkret seperti pemerintahan anti KKN, negara hukum modern, demokrasi pancasila dan perlindungan HAM serta jadi warga dunia.

Inilah nasionalisme plus. Yang bergerak dengan plus spiritual, plus intelektual dan plus kapital. Tanpa tafsir komprehensif atas nasionalisme kuno yang sedang dibakar dari dalam, kita pasti bangkrut.

Inilah nasionalisme baru yang menyadari bahwa setiap waktu adalah kesempatan menghadirkan enam dharma kehidupan: kejeniusan, keberanian, keadilan, kebenaran, kesentosaan dan kedamaian/kebahagiaan. Singkatnya, hidup kita bukan soal seberapa besar panen yang kita dapatkan hari ini, tetapi seberapa fokus kita menabur nilai-nilai itu.

Kita fokus dan konsisten berbuat yang terbaik meski dunia tidak selalu membalasnya. Kita terus tekun berlatih kebajikan walau panen tidak selalu datang secepat harapan.

Ingatlah bahwa benih yang ditanam dengan benar, akan berakar kuat dan tumbuh di waktu pener. Dengan cara pandang ini, kita tidak mudah goyah oleh kegagalan, tidak larut dalam penilaian orang lain. Tidak cemas dan paria. Sebaliknya, kita menjadi tenang, karena yang dikejar bukan angka-angka, tetapi karakter kehidupan, moral peradaban.

Mari tanam benih-benih baik hari ini: dalam pikiran, perkataan, tulisan dan tindakan. Biarlah semesta yang mengurus waktu panennya. Ya. Lebih baik terjebak macet di jalan namun masih punya tujuan, daripada harus terjebak rasa nyaman tapi tidak ada prestasi dan hasil yang lumayan.

Ingatlah bahwa rasa syukur dan cinta tidak datang dari mereka yang hidupnya sempurna, melainkan dari hati yang mampu melihat kebaikan dari selainnya. Mari peringati hari kebangkitan nasional Indonesia dengan lebih substansial.

PENULIS: Presidium Forum Negarawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *