Sari Pati Revolusi

Pagar pendopo Kantor Bupati Pati nyaris roboh akibat didorong pendemo. (foto: Ist)

Oleh: Yusuf Blegur

People power itu nyata. Gerakan rakyat yang membawa kemarahan dan perlawanan bukan hanya mimpi atau sekedar halusinasi. Massa aksi yang lahir dari perasaan luka dikhianati, dieksploitasi dan direndahkan oleh penguasa, kini memberi sinyal bahwasanya revolusi itu bisa dilakoni

Masyarakat Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah menggeliat, seakan memberikan sinyal bahwasanya Marhaen itu ada dan masih hidup. Seperti melambangkan rakyat jelata yang menjadi orang-orang teraniaya dan tertindas itu, tidak tinggal diam dan pasrah menerima nasib dari arogansi dan kesewenang-wenangan para penguasa.

Daerah bergejolak, ini bukan hanya tentang dinamika otonomi, jauh lebih besar ini menyoal refleksi dan evaluasi NKRI. Struktur kekuasaan menjelma menjadi birokrasi hipokrit, korup dan tiran. Postur kepemimpinan dan kelembagaan negara terbentuk dari sindikat pencuri, maling dan perampok bahkan para psikopat dan pembunuh.

Di tengah-tengah krisis ekonomi akibat perilaku kekuasan menyimpang mulai dari presiden hingga aparatur negara terkecil, rakyat terus menanggung beban lahir-batin, mental-fisik, psikologi dan kejiwaan. Terusir dan tergusur, dihardik dan dilecehkan hingga terluka, teraniaya dan sampai kehilangan nyawa.

Semua penderitaan rakyat itu berlangsung seiring rakyat mengorbankan segalanya untuk tanah air yang dicintainya. Hanya untuk sekedar makan dan memiliki tempat tinggal, meraih pendidikan yang layak dan terjamin kesehatan, semua sia-sia karena keangkuhan dan keserakahan penguasa.

Pati, Semarang, Cirebon hingga Jombang dan Bone dan mungkin menyusul daerah lainnya di Indonesia, bukanlah fenomena puncak gunung es, ia menjadi letupan-letupan wedus gembel dari gunung api yang akan memuntahkan ledakan magma dan lava vulkanik dahsyat yang mengerikan. Rakyat di daerah menggeliat dan memberontak karena tak lagi diperlakukan manusiawi, tak lagi dihargai dan tak lagi dihormati sebagai pemilik kedaulatan dan pemberi mandat penyelenggaraan negara.

Rakyat tak ubahnya berada dalam masa penjajahan akibat kolonialisme modern yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Dalam cengkeraman kepiluan yang menyayat, rakyat harus merasakan kembali eksploitasi bangsa atas bangsa dan eksploitasi manusia atas manusia.

Pajak yang terus menerus meningkat dan menyeluruh di negeri yang merdeka, terasa tak berbeda dengan upeti dari kaum kompeni untuk kalangan pribumi pada masa penjajahan. Diteror, diperbudak dan dikuras habis-habisan kekayaannya,
membuat rakyat hanya punya dua pilihan diam dan lemas tertunduk atau bangkit melawan.

Sekarang atau nanti tidak ada bedanya, menderita bahkan kematian karena menyerah pada penindasan. Atau menderita dan kematian karena melawan kedzoliman. Hanya saja akan berbeda dan memiliki nilai sendiri ketika sejarah akan menorehkan catatan penting tentang kebenanian suatu bangsa untuk melawan segala macam bentuk penindasan dan kedzoliman. Keberanian dan pengorbanan melawan penjajahan yang melegenda dalam spirit, kepahlawanan, kemanusiaan dan Ketuhanan.

Dari Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, seluruh rakyat Indonesia menyaksikan dan menjadi saksi hidup. Tak akan ada yang bisa merubah nasib suatu kaum selain kaum itu sendiri yang memperjuangkannya. Perlawanan rakyat Pati menjadi contoh nyata people power itu ada dan nyata. Bahkan menjadi benih dan sari pati dari sebuah revolusi.

Penulis: Analis Institut for Public Policy Studies Indonesia (IP2SI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *