Putusan MK Soal Polri Tak Bolah Rangkap Jabatan Tak Digubris, Giliran Soal Batas Usia Cawapres Secepat Kilat Dijalankan

Gedung Mahkamah Konstitusi (foto: net)

JAKARTA, Mediakarya — Pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Susi Dwi Harijanti menilai pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil, maka korps bhayangkara itu harus mematuhinya.

Faktanya saat ini tidak demikian, meski MK sudah memutuskan agar anggota polisi tidak rangkap jabatan, namun sejumlah anggota Polri yang menduduki jabatan sipil masih tetap bercokol dan menempati jabatan strategis di sejumlah kementerian mapun lembaga.

Hal itu berbanding terbalik saat putusan batas usia Cawapres yang ditujukan untuk meloloskan Gibran, pascaputusan tersebut justru secepat kilat dijalankan.

Menurut Prof Susi Dwi Harijanti jika putusan sudah dinyatakan konstitusional, maka konsekuensinya berlaku sejak dibacakan.

Meskipun sifatnya ke depan, dalam kondisi seperti ini mereka harus mundur, mereka harus memilih.

“Dalam logika konstitusional, begitu putusan dibacakan, kewajiban menjalankannya melekat pada pihak-pihak terkait dan berlaku langsung sejak diucapkan. Dengan demikian, seluruh anggota Polri aktif yang saat ini menempati posisi di instansi sipil dinilai harus segera mengundurkan diri,” ujarnya seperti dikutip dari laman fajar.co, Sabtu (22/11/2025).

Pernyataan tersebut merujuk pada Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang dalam amar putusannya tidak memberikan masa transisi ataupun penundaan pemberlakuan. Kondisi itu, sambungnya, membuat putusan berlaku serta merta.

Prof Susi Dwi Harijanti menilai keberlakuan langsung tersebut merupakan bagian dari remedy atau pemulihan atas kerugian konstitusional yang dialami para pemohon perkara.

“Hal terpenting dari sebuah putusan adalah pemohon mendapatkan pemulihan. Kalau tidak berlaku serta merta, lalu apa remedy-nya?” ujarnya.

Perkara di MK memang memiliki karakter kepentingan publik yang tinggi. Karena itu, pejabat publik, termasuk anggota Polri yang tengah menjabat di instansi sipil, menurutnya harus mendahulukan kewajiban konstitusional dibandingkan kepentingan jabatan.

Pelaksanaan putusan MK seharusnya menunggu aturan pelaksana atau mekanisme transisi lain. Namun dalam logika konstitusional, begitu putusan dibacakan, kewajiban menjalankannya melekat pada pihak-pihak terkait.

“Begitu putusan dibacakan, sebaiknya mereka mundur,” tegasnya.

Selain itu, Prof Susi menyoroti meningkatnya kecenderungan lembaga-lembaga negara yang tidak patuh terhadap putusan MK, padahal putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Ia menilai kondisi ini berpotensi merusak prinsip negara hukum, melemahkan demokrasi, serta menurunkan wibawa kekuasaan kehakiman.

Di bagian lain Susi menambahkan, masih banyak putusan MK yang tidak dijalankan sepenuhnya. Ia mencontohkan kasus Undang-Undang Cipta Kerja, di mana pemerintah hanya merevisi UU 12/2011 dan tidak melakukan pembahasan ulang sebagaimana diperintahkan MK.

“Ada banyak putusan MK yang diabaikan. Dalam kasus Ciptaker, yang diperintahkan adalah pembahasan ulang, tetapi itu tidak dilakukan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti langkah pemerintah menambah jabatan wakil menteri, meskipun MK melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025 telah menegaskan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri.

“MK sudah jelas menyatakan wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan, tetapi justru ada penambahan jabatan rangkap,” ucapnya.

Menurutnya, pembangkangan terhadap putusan MK memperlihatkan lemahnya posisi lembaga yudikatif, kondisi yang telah lama diperingatkan dalam literatur hukum tata negara. Susi juga menyoroti persoalan legislative omission yaitu pembiaran yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang ketika mereka tidak menindaklanjuti putusan MK.

“Saat DPR dan Presiden tidak menjalankan putusan MK, itu sebenarnya bentuk pembiaran. Saya sedang mengkaji sejauh mana MK dapat masuk ke isu legislative omission,” kata dia.

Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (13/11/2025), MK secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil dalam bentuk apapun, kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun dari kepolisian. Putusan ini sekaligus menghapus ketentuan dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang selama ini menjadi celah hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *