Opini  

Minimnya Literasi dan Pemahaman Mustadh’afin di Tengah Masyarakat Indonesia

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Oleh: Noor Fatah,SE

Saat tinggal di salah satu perumahan di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada tahun 1989 penulis bersama-sama warga ikut mendirikan Musholla di tanah fasum-fasos. Saat itu, penulis memberanikan diri memberi nama Musholla Al-Mustadh’afin, yang terinspirasi dari buah pemikiran mantan anggota DPR RI Jalaludin Rakhmat alias Kang Jalal, pasca Revolusi Iran 1980, (Kaum Mustadh’afin/orang-orang yang tertindas, sadar dan bangkit dari ketertindasannya/terminologi Al-Qur’an), akhirnya penulis terpilih menjadi ketua DKM-nya

Sebagai ketua DKM pada umumnya, Musholla Al-Mustadh’afin membuat program-program keagamaan untuk menghidupi ruh keagamaan di masyarakat, tentunya aliran Islam yang mencerahkan dengan berbagai literasi yang bersumber dari buku-buku pemikiran Kang Jalal, seperti dalam buku Islam Alternatif, Islam Aktual, dan buku lainnya penerbit Mizan

Upaya pencerahan melalui berbagai kegiatan keagamaan di lingkungan, ba’da solat subuh, dengan kuliah 7 menit (kultum) dan ceramah-ceramah ramadhan dengan mengambil tema-tema membangkitkan semangat Mustadh’afin. Begitu pula pada acara-acara memperingati hari-hari besar Islam juga memilih topik yang aktual dan menghadirkan penceramah yang memiliki wawasan luas sekaligus diramaikan dengan acara bazar buku murah, dengan menghadirkan buku-buku penerbit Mizan & Gema Insani Pers (pembading)

Namun, nampaknya sedikit sekali warga masyarakat yang dapat mencerna pemikiran-pemikiran kang Jalal, tidak sedikit warga masyarakat yang menolak terminologi Mustadh’afin, lebih miris lagi, setelah penulis pindah tempat tinggal dari perumahan tersebut, nama Musholla Mustadh’afin berubah nama menjadi Mushola Al-Muchlisin

Faktanya, di tengah masyarakat kita, budaya sekularisme dan malas membaca, ditambah lagi minimnya sikap kritis dan objektif terhadap sejarah Islam, membuat nilai-nilai ideologis Islam yang sesungguhnya dan juga nilai-nilai demokratis yang sehat sulit berkembang, mengingat literatur sejarah Islam masih didominasi oleh dakwah Salafi Wahabi yang sebagian besar mendiskreditkan Islam Muhammadi

Padahal bila akar kata Mustadh’afin dipahami secara benar dan sungguh-sungguh, maka akan lahir wawasan baru, kesadaran baru tentang Islam dan karakteristik tipikal demokrasi ala islam, antara lain terkandung nilai-nilai spiritualitas, ideologis/imamah dan demokrasi/konstitusional Islam; seperti semangat bangkit melawan dari berbagai macam keterbelakangan, ketertinggalan dan ketertindasan baik secara kultural maupun maupun struktural

Selain itu, ideologi Islam yang benar bila dipahami, lalu dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Islam, terasa seperti memiliki keyakinan baru yang segar, dengan sendirinya konsep demokrasi ala barat yang menindas yang selama ini kita agung-agungkan dan telah merasuki relung kehidupan kita, serta mengakibatkan berbagai krisis kemanusiaan akan terkikis dengan sendirinya. Dengan kata lain, praktik pseudo demokrasi atau sistem demokrasi semu yang dikuasai oleh sekelompok bandit rakus/oligarki yang hanya mengeruk keuntungan material (kapitalisme dan imperalisme) akan collaps.

Ala kuli hal, konsep Mustadh’afin dalam buku-buku kang Jalal, bila terus digelorakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; paling tidak, akan menjadi nilai tambah bagi peningkatan kualitas warga negara Indonesia: nilai-nilai inklusivitas, nonsekarian, moderat, berwawasan luas, kreatif, inovatif dan produktif; maka umat Islam akan memiliki marwah dan martabat sebagai bangsa merdeka rela berkorban dan tidak cinta dunia; dg demikian, pemikiran Kang Jalal tidak hanya meningkatkan kualitas demokrasi tapi juga dapat meningkatkan kualitas SDM dan tentunya ketakwaan, seperti telah dicontohkan dg baik oleh negeri Persia dengan mengelaborasi konsep Mustadh’afin, sehingga sukses menghantarkan menjadi negara terdepan dalam sains dan teknologi, baik informasi, kedokteran, militer maupun ruang angkasa, sehingga dapat menggentarkan dunia (Islam tinggi dan tiada yang melebihi ketinggiannya)

Penulis: Mantan aktivis 98 dan Pemerhati Sosial dan Budaya Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *