JAKARTA, Mediakarya – Banjir dan longsor beruntun yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir dinilai bukan sekadar bencana hidrometeorologis, melainkan cerminan krisis tata kelola ruang dan lingkungan di Pulau Sumatera.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menilai pemerintah tidak adil dalam merespons bencana ekologis tersebut. Ia menyoroti langkah pemerintah yang hanya menutup operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara, sementara perusahaan lain yang diduga turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan justru dibiarkan beroperasi.
“Kalau alasannya banjir dan longsor, kenapa hanya TPL yang ditutup? Ini tidak adil. Banyak perusahaan lain yang aktivitasnya berada di kawasan rawan dan diduga memperparah kerusakan lingkungan,” ujar Uchok Sky, Kamis (25/12/2025).
Uchok secara tegas meminta pemerintah segera melakukan audit lingkungan dan menutup sementara Tambang Emas Martabe yang dikelola PT Agincourt Resources (PTAR), meskipun kontrak karya perusahaan tersebut baru akan berakhir pada 2033.
“Kontrak karya tidak boleh menjadi tameng. Jika aktivitasnya membahayakan lingkungan dan masyarakat, pemerintah wajib bertindak,” tegasnya.
CBA, lanjut Uchok, lebih mempercayai temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara dibandingkan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol. WALHI Sumut sebelumnya menyebut setidaknya tujuh perusahaan yang diduga menjadi penyebab utama bencana ekologis di kawasan Tapanuli, salah satunya PT Agincourt Resources.
“WALHI menyebut nama dan basis ekologisnya jelas. Sementara pernyataan Menteri Lingkungan Hidup justru terkesan membela mati-matian PT Agincourt Resources dengan alasan perusahaan sudah menjalankan prinsip lingkungan dan keberlanjutan,” kata Uchok.
Menurutnya, sikap pemerintah tersebut mencerminkan kepentingan jangka pendek dan mengabaikan penderitaan para korban banjir dan longsor yang kehilangan rumah, lahan, bahkan anggota keluarga.
CBA pun mendesak pemerintah pusat untuk segera menutup sementara operasional Tambang Emas Martabe serta membentuk Tim Audit Independen guna melakukan audit lingkungan secara menyeluruh. Pasalnya, kawasan pertambangan PTAR berada di kawasan hutan dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat sensitif dan berisiko tinggi, termasuk dalam ekosistem DAS Batang Toru.
“Ini wilayah berbahaya. Kalau audit independen tidak segera dilakukan, bencana serupa akan terus berulang dan rakyat lagi yang menjadi korban,” pungkas Uchok Sky.




