Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di empat provinsi dan menangkap 25 orang serta untuk tiga kasus yang berbeda, tenggang waktu hanya sepanjang bulan desember 2025. Rangkaian OTT dimulai pertama, pada 10 Desember 2025 KPK menangkap Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya dan kawan-kawan. Dalam OTT ini, KPK menyita uang Rp. 193 juta dari kediaman Ardito Wijaya dan adiknya Ranu Hari. Kedua, 18 Desember 2025 KPK juga menangkap jaksa dan empat orang lainnya dalam OTT di wilayah Banten.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kejagung menetapkan lima orang tersangka dalam perkara dugaan pemerasan terkait penanganan perkara tindak pidana umum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melibatkan warga negara asing. Ketiga, dalam hari yang sama, KPK juga menangkap dua jaksa dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (Kejari HSU) dalam OTT di Kalimantan Selatan. Keempat, masih dalam hari yang sama, KPK menangkap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang bersama ayahnya HM Kunang dan Sarjan selaku pihak swasta dalam rangkaian OTT di Bekasi dan KPK juga menyita uang tunai Rp. 200 juta.
Realita ini, menunjukkan bahwa hukuman dengan vonis berat saja belum tentu cukup memberikan efek jera, apalagi jika tidak diiringi pembenahan sistemik. Korupsi bukan hanya soal angka dalam kerugian negara, tapi juga menyangkut kehidupan masyarakat. Kerugian negara yang dikorupsi bisa jadi adalah anggaran untuk pendidikan, Kesehatan atau infrastruktur. Ketika uang itu hilang yang dirugikan bukan hanya negara, tapi rakyat yang tidak mendapatkan haknya.
Korupsi akan tetap berlangsung, jika akibat perbuatan korupsi itu dapat secara bebas dan tumbuh subur tatkala sistem hukum tidak berjalan yang melakukan korupsi berfikiran simplikasi lolos dari jerat pidana karena aparat penegak hukum mudah disuap. Robert Klitgaard (2006), mengatakan korupsi itu merupakan kejahatan kalkulsasi, sebuah tindakan pelanggaran terhadap hukum yang didasari perhitungan yang rasional dengan pendekaran untung-rugi.
Jika keuntungan melakukan korupsi lebih besar daripada kerugian yang mungkin didapat, korupsi akan tetap merajalela. Pendek kata, tanpa dibuat jera orang akan tetap terus melakukan korupsi. Dipertegas oleh Nur Syam (2000), memberikan pandangan bahwa salah satu penyebab melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi.
Dengan demikian, jika menggunakan sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin (2000), yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Secara umum, faktor-faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan ekonomi, yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional. (ICW, 2016). Pemaksimalan hukum bagi para pelaku korupsi tampak berlawanan arah dengan efek jera sebagaimana dimaksudkan adanya hukum positif di dalam UU Korupsi.
Salah satu penyebabnya dan ini sering menjadi bahan bahasan publik, adalah hukuman yang dijatuhkan hakim bagi para koruptor dipersepsikan belum sebanding dengan kejahatan luar biasa tersebut. Di kalangan Masyarakat selama ini, pemahamannya merentang ke dalam dua kutub. Pada satu kutub adalah aspek moral. Dalam perspektif moral, ringannya hukuman ditafsirkan sebagai cerminan moralitas hakim. Sanksi penjara dinilai tidak membuat para koruptor jera dan kasus korupsi tidak selesai jika koruptor sekadar dipenjara. Sebab, koruptor bisa membuat izin sakit saat di penjara. Padahal, mereka ternyata kabur ke hotel dan lain sebagainya.
Bahkan tidak sedikit para koruptor hidup mewah dalam penjara. Adnan Topan (2020), mengimbau pemerintah fokus memaksimalkan pengembalian uang negara. Sebab, jumlah pengembaliannya masih jauh dari nilai korupsi, nilai korupsi mencapai Rp 9,4 triliun yang dikembalikan Rp 4 triliun. Selanjtmya, Adnan menilai memiskinkan koruptor lebih efektif jika dibandingkan memenjarakannya dengan harapan koruptor akan jera. Berarti ada yang keliru dari pemberantasan korupsi, hukuman yang maksimal ternyata orang lebih takut dimiskinkan daripada masuk penjara.
Sementara itu, menurut Anwar Abbas (muhammadiyah.or.id, 2 Deseember 2023) berharap pemerintah, terutama Kejaksaan Agung (Kejagung) dan KPK berlaku tegas dan keras yang membuat efek jera pada pelaku korupsi. Karena kalau hukuman yang diberikan kepada para koruptor itu tidak berat, maka para koruptor yang sudah dan belum tertangkap tidak akan jera dan tidak akan takut.
Selain menyita harta kekayaan para koruptor, harus berani menuntut mereka dengan hukuman yang seberat-beratnya, apalagi jika koruptor tersebut berasal dari aparatur penegak hukum. Untuk itu, pihak kejaksaan dan KPK harus bersikap lebih keras dan lebih tegas terhadap mereka karena mereka tahu hukum lalu, melanggar dan mempermain-mainkannya.
Secara personal, Anwar Abbas setuju koruptor diberikan hukuman seberat-beratnya dan seharusnya Kejaksaan dan KPK berani menuntut mereka dengan hukuman mati, apalagi jika koruptor tersebut berasal dari aparatur penegak hukum.
Ketentuan yang berkaitan dengan penjatuhan pidana mati, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perma ini, dibuat untuk menghindari disparitas hukuman yang mencolok bagi satu koruptor dengan koruptor lainnya.
Bahkan Pasal 17 Perma ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana mati sepanjang perkara tersebut memiliki tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan tinggi. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana mati, setelah mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan serta sifat baik dan jahat terdakwa, ternyata hakim tidak menemukan hal yang meringankan.
Oleh karena itu, integritas Mahkamah Agung dalam Perma No. 1 Tahun 2020 menyatakan hukuman mati merupakan politik penegakan hukum dan telah menetapkan hukuman yang seberat-beratnya. Untuk memberikan efek jera kepada koruptor dan orang lain juga memperoleh pendidikan atas penjatuhan hukuman tersebut dan merasa takut untuk melakukan tindakan yang sama karena akibat yang ditimbulkan atau hukuman yang diberikan sangat berat.
Pidana mati dalam tindak pidana korupsi perlu diancamkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi khususnya adalah terhadap mereka yang melakukan tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara terorganisir dan berlanjut, apabila tindak pidana korupsi dilakukan oleh aparat penegak hukum dan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat negara serta apabila tindak pidana korupsi yang dilanjutkan dengan pencucian uang. **




