Abolisi dan Amnesti: Antara Keadilan dan Kekuasaan

Sekjen LPKAN Indonesia, Abdul Rasyid.

Oleh : Abdul Rasyid Sekjen

Dalam sistem hukum modern, dua instrumen yang sering menimbulkan polemik adalah abolisi dan amnesti. Keduanya merupakan bentuk intervensi negara terhadap proses hukum, baik dengan menghentikan proses peradilan (abolisi) maupun menghapuskan akibat hukum dari suatu tindak pidana (amnesti). Namun pertanyaannya, apakah ini langkah menegakkan keadilan, atau justru menjadikan hukum sebagai sarana politik untuk mengokohkan kekuasaan?

Hukum, sebagaimana idealnya, seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan yang adil dan merata, bukan selektif dan transaksional. Namun dalam praktik, hukum tak jarang tunduk pada logika kekuasaan. Abolisi dan amnesti pun sering digunakan bukan demi kemaslahatan umum, melainkan demi kepentingan segelintir elite.

Kita bisa melihat contoh ketika amnesti digunakan untuk mendamaikan konflik di Aceh pasca tandatangan MoU Helsinki pada 2005. Dalam konteks itu, amnesti adalah bagian dari solusi damai, bukan bentuk impunitas. Namun dalam kasus lain, seperti usulan amnesti terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan tokoh politik tertentu, keputusan tersebut justru mengoyak rasa keadilan publik.

Pendukung amnesti biasanya mengklaim bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari rekonsiliasi nasional. Argumen ini masuk akal, asalkan dilakukan secara transparan, terbuka, dan melibatkan korban serta masyarakat luas. Namun bila dilakukan diam-diam, tanpa akuntabilitas, maka amnesti hanya menjadi jalan pintas menuju impunitas.

Sementara itu, abolisi yang bisa dilakukan bahkan sebelum proses pengadilan dimulai, lebih berbahaya lagi jika tidak diawasi. Abolisi bisa mencegah terbongkarnya kasus besar, menutup akses korban pada keadilan, dan mematikan independensi aparat hukum.

Politik Hukum dan Hukum Politik

Perlu ditegaskan bahwa semua hukum adalah hasil dari proses politik. Namun ketika hukum secara langsung dikendalikan oleh kekuasaan demi melindungi kepentingan politik sesaat, maka yang terjadi adalah pembusukan sistem hukum. Instrumen seperti amnesti dan abolisi yang seharusnya sakral justru berubah menjadi alat transaksional kekuasaan. Inilah yang disebut oleh banyak ahli hukum sebagai “hukum yang kehilangan moralnya” ketika yang salah dibebaskan karena dekat kekuasaan, dan yang benar dipidanakan karena berbeda sikap politik.

Jalan Tengah: Prosedur dan Partisipasi

Solusi dari dilema ini adalah penguatan mekanisme check and balance, partisipasi masyarakat sipil, dan kejelasan prosedur pemberian amnesti/abolisi. Bila instrumen ini dilakukan melalui proses yang adil, disertai pengakuan kebenaran dan pengembalian hak korban, maka ia bisa menjadi alat keadilan restoratif. Namun jika dilakukan secara sepihak, elitis, dan tertutup, maka rakyat akan menyaksikan hukum hanya sebagai panggung sandiwara, bukan sebagai tempat menaruh harapan akan keadilan.

Abolisi dan amnesti bukanlah hal tabu dalam negara hukum. Tetapi ia harus diawasi dengan cermat, karena pada akhirnya bukan hukum yang menentukan keadilan, tetapi manusia yang berada di balik hukum itu sendiri. Dan jika manusia yang memegang kekuasaan memanfaatkan hukum untuk menyelamatkan dirinya dan kroninya, maka jelaslah bahwa hukum telah dikorbankan demi politik.

Abolisi dan Amnesti bisa menjadi instrumen keadilan, tetapi juga bisa menjadi alat kekuasaan. Kuncinya terletak pada transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, serta niat politik yang jujur. Tanpa itu, hukum berisiko kehilangan wibawanya dan berubah menjadi sekadar alat transaksi politik.

Hukum yang sehat adalah hukum yang adil, bukan hanya bagi mereka yang berkuasa, tapi juga bagi mereka yang paling lemah. Pertanyaan penting publik yang harus dijawab terkait Abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti untuk Hasto Kristiyanto agar tidak terjadi polemik dan conflict of interest terkait kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam melaksanakan Konstitusi yang tegak lurus, jujur, transparan, akuntabel, berkeadilan.

Dalam kaitan itu, baik amnesti maupun abolisi, tentu menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Apakah itu hanya sekedar impunitas politik atau justru menghambat keadilan jangka panjang .

“Keadilan bukan milik penguasa. Ia milik semua warga negara. Ketika hukum kehilangan keadilan, ia hanyalah instrumen kekuasaan”.

Penulis: Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara Indonesia, 

Exit mobile version