Ada Apa Dengan Neoliberalisme

Ilustrasi (Foto: Ist)

Oleh: Firdaus (Akademisi Univ MH Thamrin Jakarta)

Ini kajian sederhana. Walau tak mudah meringkasnya. Masuknya neoliberalisme ke Indonesia bukanlah bentuk penjajahan lewat agresi militer, melainkan melalui pemahaman ekonomi berorientasi pasar yang disusupkan lewat kebijakan, pinjaman luar negeri, dan narasi modernisasi.

Neoliberalisme menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi. Namun di balik janji itu tersembunyi konsekuensi jangka panjang yang merusak fondasi ekonomi bangsa. Di Indonesia, neoliberalisme menjadi salah satu aktor utama dari tragedi Reformasi 1998. Tetapi, setelah pergantian beberapa kepemimpinan, timbul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang benar-benar diuntungkan?

Wajah Halus di Balik Deregulasi dan Privatisasi

Pasca Krisis Moneter, Indonesia seolah dipaksa untuk tunduk pada “obat mujarab” yang ditawarkan oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia demi pemulihan ekonomi. Namun, di balik itu semua, Indonesia harus membuka keran privatisasi, mencabut subsidi, dan menyerahkan banyak sektor vital kepada pihak swasta, bahkan asing, dengan dalih efisiensi, pelayanan prima, dan kompetisi pasar.

BUMN, yang didirikan dengan tujuan mengelola sektor-sektor vital demi kesejahteraan rakyat, malah dieksploitasi atau dijual. Sektor transportasi, telekomunikasi, perminyakan, perbankan, dan konstruksi perlahan-lahan dipreteli. Kebijakan ini diklaim sebagai langkah menuju efisiensi dan modernisasi. Namun, faktanya justru melemahkan kedaulatan ekonomi Indonesia.

Membuka Pintu bagi Kapital Asing

Neoliberalisme menekankan pentingnya keterbukaan pasar dan investasi asing. Dengan begitu, negara-negara adidaya dan pemilik modal dapat mengatur perekonomian Indonesia. Lewat kekuatan pemodal dan kontrol terhadap oknum pemerintahan yang korup, Indonesia dipaksa untuk melonggarkan dan bahkan mengganti regulasi dasar. Sektor-sektor strategis seperti pertambangan, energi, dan agraria pun dibuka lebar-lebar untuk kepentingan asing. Tanah adat pun diperlakukan sebagai komoditas. Sumber daya alam dieksploitasi tanpa batas.

Hasil akhirnya, kekayaan alam Indonesia—yang dulu dijuluki “Jamrud Khatulistiwa”—tak lagi menjadi milik rakyat. Segelintir orang, seperti konglomerasi dan korporasi multinasional, menikmati keuntungan tersebut, sementara negara hanya berperan sebagai “satpam” bagi modal global.

Rakyat yang Dikorbankan

Neoliberalisme menciptakan logika persaingan ketat di pasar. Mereka yang tidak mampu mengikuti persaingan akan tergilas. Tidak ada keberpihakan terhadap rakyat kecil. Subsidi yang seharusnya melindungi masyarakat miskin dipangkas atas nama efisiensi, padahal mereka lah yang paling terdampak.

Swastanisasi BUMN sektor vital justru membuat harga bahan bakar, tarif listrik, biaya pendidikan, dan kesehatan meroket. Akibatnya, rakyat miskin tak bisa mengakses pendidikan yang layak dan dipaksa hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Kesenjangan sosial semakin melebar, dengan sebagian besar kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh segelintir orang yang bahkan mendekati kekayaan negara.

Deindustrialisasi dan Hilangnya Kedaulatan Ekonomi

Dampak terburuk dari neoliberalisme adalah deindustrialisasi. Alih-alih membangun industri nasional yang kuat, Indonesia justru terjerumus menjadi negara konsumtif. Produk impor murah membanjiri pasar melalui platform online, sementara industri kecil dan menengah dalam negeri kesulitan bersaing karena terbatasnya teknologi dan modal. Banyak dari mereka yang terpaksa gulung tikar.

Pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan, akibat masuknya modal asing dan perdagangan bebas, ternyata hanya ilusi. Terbukanya keran impor dan ketergantungan pada modal asing membuat Indonesia kehilangan kendali atas perekonomiannya sendiri. Ekonomi menjadi rapuh, tidak mandiri, dan sangat rentan terhadap guncangan global.

Neoliberalisme sebagai Kolonialisme Gaya Baru

Neoliberalisme, pada praktiknya, bukan lagi sekadar teori ekonomi. Ia telah menjadi wajah kolonialisme gaya baru. Bukan dengan perang atau agresi militer, tetapi dengan menciptakan ketidakstabilan ekonomi, kesenjangan sosial, dan kemiskinan. Ketika ketidakstabilan ini semakin parah, negara-negara besar menggoda dengan menawarkan solusi berupa utang, perjanjian dagang, dan tekanan diplomatik. Pada akhirnya, negara-negara seperti Indonesia hanya menjadi budak sistem global yang diatur oleh kekuatan kapital besar.

Bukan lagi kemandirian ekonomi yang diperjuangkan, melainkan kebijakan yang lebih berpihak kepada pemodal asing dan konglomerat, demi memperpanjang penjajahan ekonomi mereka.

Saatnya Berbalik Arah

Indonesia kini telah sangat jauh menyimpang dari cita-cita para pendiri bangsa, yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Saatnya kita mengevaluasi dan kembali pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal ekonomi Bung Hatta, Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Ekonomi Pancasila harus kembali menjadi dasar kita, dimana ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat.

Neoliberalisme telah menjadi tumor yang merusak akar perekonomian Indonesia. Membuang pengaruhnya bukanlah tugas mudah, bahkan akan memerlukan perjuangan besar. Namun, untuk kembali pada kedaulatan dan kesejahteraan bangsa, kita harus memulainya sekarang. **

Exit mobile version