Oleh: Agus Wahid
Sangat jelas. Bencana yang melanda beberapa daerah di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, juga daerah-daerah lainnya merupakan akibat dari tangan-tangan jahat manusia. Di antara mereka merusak alam semesta (cosmos) tanpa batas. Tidak mempedulikan ekosistemnya. Sementara, ekosistem yang membalutnya menjadi faktor penting terpeliharanya tatanan cosmos ciptaan-Nya.
Diksi “teror” menurut kamus Bahasa Indonesia adalah tindakan atau suasana yang menimbulkan ketakutan atau kengerian yang hebat pada seseorang atau masyarakat. Seringkali dilakukan sebagai strategi untuk memaksa perubahan atau mencapai tujuan tertentu. Nafasnya sangat politik dan ideologis. Sementara, menurut catatan Encyclopedia of Politics, terorisme adalah penggunaan kekerasan secara sengaja untuk menimbulkan rasa takut untuk mencapai tujuan politik, ideologis atau agama.
Sebuah renungan, tepatkah tangan-tangan jahil manusia terhadap alam (lingkungan) bisa dikategorika sebagai tindakan teroristik? Tergantung variabel atau unsur yang mau dipilih atau dilihat. Ketika kita menelusuri, tangan-tangan jahil itu yang pada akhirnya berdampak pada reaksi alam yang menimbulkan rasa takut, maka pengrusakan manusia terhadap alam cukup tepat dikategorikan sebagai teroris. Tidak hanya terhadap manusia, tapi juga terhadap alam semesta.
Memang, tujuan gerakan tangan-tangan jahil manusia tidak bernuansa politik dan ideologis seperti yang kita pahami selama ini. Namun demikian, kita bisa melihat proses penguasaan lingkungan tak lepas dari peran dan posisi kekuasaan. Sementara, politik itu sendiri mengarah pada kekuasaan. Ketika tangan-tangan jahil terhadap lingkungan mendayagunakan kekuasaan, maka cukup sah mendifinisikan para perusak lingkungan sebagai teroris.
Sementara, jika kita menggarisbawahi dampaknya yang demikian luas, korban manusia, dalam jumlah besar, harta benda dan lainnya yang semua itu merupakan gambaran yang sangat menakutkan. Maka – sekali lagi – efek yang menakutkan itu cukup sah secara teoritik untuk mengkategorikan para perusak alam sebagai sang teroris sejati. Inilah diksi terorisme yang layak disematkan kepada para pembalak hutan, penguasa penyokong dan pelindung mafia kehutanan. Dan siapapun yang terlibat di lapangan dalam kaitan kehancuran lingkungan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM).
Terminologi terorisme terhadap lungkungan merupakan penggangguan yang sangat serius terhadap ekosistem. Penggangguannya dalam beragam cara. Dalam tataran eksekusi, terjadi pembalakan lingkungan yang melampaui batas, untuk kepentingan apapun: alih fungsi hutan (perkebunan sawit), pertambangan atau lainnya, termasuk pemukiman di areal pegunungan, atau pembangunan kawasan industri di areal daratan.
Eksekusi pembalakan atau derap pembangunan dunia industri atau pemukiman tak akan terjadi tanpa landasan kebijakan. Hal ini berarti, penggangguannya dilakukan terhadap hak dasar untuk hidup dan “stabilitas” alam. Dalam level ini dilakukan penyelenggara negara.
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah keterlibatan negara karena berkomplot dengan para bandit ekonomi selaku pengejar rente? Atau, kebijakan penggangguan terhadap alam semesta karena rumusan perundang-undangan dan alam pikir perumusnya yang tak waras, atau tak mengerti implikasi natural ketika alam diganggu hak-hak ekosistemnya? Jika kita cetrmati sejumlah pasal dalam UU Omnibus Law No. 11 Tahun 2020, memang terjadi persekongkolan kuat dan rapih di antara eksekutif-legislatif dan kaum cukong. Seluruh UU yang melindungi hak hutan diabaikan.
Perlu kita tegaskan, serangkaian tindakan yang berdampak ekosistem alam terganggu, jika kita mendasarkan terminologi terorisme mereka layak disebut atau dikategorikan sebagai teroris sejati. Level terorisnya tertinggi dibanding teroris yang selama ini kita kenal. Fakta bicara, teroris terbesar dunia, maksimal hanya merenggut nyawa ratusan orang, seperti yang terjadi pada Bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Tindakan terornya pun tak sampai menggaggu hak hidup hewan. Tindakan teror itu pun masih membuat pepohonan di manapun masih bisa “tersenyum”, setidaknya bisa bernafas: mengeluarkan oksigen dan menyerap nitrogen.
Namun, para peneror alam semesta ini bukan hanya mengganggu hak hidup populasi alam semesta ini, tapi benar-benar menghancurkannya. Untuk masa kini, dan potensi masa depannya, entah berapa tahun kemudian untuk kembali hidup normal.
Karena itu, sanksi hukum terhadap para teroris lingkungan haruslah ribuan kali lipat, secara fisik (pidana) ataupun perdata dan politik. Maka, Siapapun dari teroris alam semesta dari elemen penyelenggara negara, perumus perundang-undangan (parlemen), para eksekutor “pembantaian” alam di lapangan, para pengawal arus illegal logging dan pemegang kendali di belakang meja (korporasi) bukan hanya bertanggung jawab atas tindakan teroristiknya, tapi sanksi yang tegas dan super berat: hukuman mati perlahan-lahan di hadapan publik, serta hukuman pemiskinan total.
At least, Pasal 118-120 UU PPLH atau UU No.18/2013 bisa menjadi dasar untuk menyikapi tegas para bandit lingkungan. Melalui Pasal tersebut, korporat harus bertanggung jawab sebagai subyek hukum. Juga, sebagai pemilik korporat (komisaris) dan pengurus (jajaran direksi) diminta pertanggungjawabannya secara pribadi. Ketentuan ini bisa dijadikan landasan publik untuk mengejar para korporat (perusahaan, pemilik dan direksi) untuk meminta ganti rugi material bahkan imaterial. Selama ini, mereka tak pernah dikejar sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Karenanya, mereka tak peduli dengan risiko bisnis yang bernilai tirliunan itu akibat bencana yang melandanya. “Emang Oe pikilin…”, ucapnya imajiner.
Jika para teroris yang selama ini kita kenal digiring ke penjara Guanatamo (Kuba tapi dalam kendali Amerika Serikat) yang dikenal sangat sadis itu, maka para teroris lingkungan harusnya jauh lebih sadis dari yang diterapkan para algojo di penjara Guatanamo.
Satu hal lagi yang sungguh krusial, jika teroris yang selama ini kita kenal menjadi musuh dunia (the common enemy), maka teroris lingkungan haruslah lebih dari musuh dunia. Maka, gerakan penumpasan teroris lingkungan haruslah menjadi kesepakatan nasional dan berbagai elemen masyarakat dunia. Kesepakatan itu harus dirumuskan dalam undang-undang, persis yang diterapkan kepada teroris manusia.
Hukumannya haruslah jauh lebih berat. Sebab, jika teroris manusia bisa jadi karena faktor kedangkalan pemahaman keyakinan, atau krisis kemiskinan yang membalutnya, tapi para teroris lingkungan terjauh dari faktor itu. Karena itu, memang cukuplah tepat pengenaan hukuman yang jauh lebih berat terhadap para teroris lingkungan.
Stigmatisasi teroris lingkungan sudah saatnya dihembuskan ke berbagai spektrum, di lingkungan daerah dan nasional, juga regeional dan global. Stigmatisasi ini diperlukan untuk merancang proses reboisasi di lapangan. Juga, untuk merancang paradigma kekuasaan dalam memandang struktur alam (cosmos), yang di dalamnya terdapat lingkungan alam dan seluruh populasinya. Juga, untuk merekonstruksi sistem perundang-undangan yang melarang tegas penggangguan alam semesta secara berlebihan (taghut). Hal ini sekaligus untuk mencegah peluang kooptasi para komprador yang beralamat korporat.
Rekonstruksi yang sangat mendasar itu – at least akan mengembalikan cara berfikir dan bertindak umat manusia yang searah dengan perintah dan amanat sang Maha Pencipta. Manusia diciptakan sebagai “khalifah” Allah di muka bumi. Untuk memeliharanya, bukan mengganggu apalagi merusak dan menghancurkan. Allah membencinya kepada siapapun yang merusaknya. Dan sikap ndablegnya (masa bodoh dengan peringatan-Nya) mengakibatkan ekosistemnya rusak parah. Maka, alam pun seperti mengamuk. Mengakibatkan korban manusia tak sedikit. Belum kerusakan infrastruktur dan lainnya.
Kita tak habis pikir. Sesungguhnya, bencana alam telah sering terjadi. Hal ini sejatinya merupakan early warning system (sistem peringatan dini). Mengapa bencana alam terjadi lagi dan lagi, meski dalam teritori berbeda? Keberulangan bencana alam menunjukkan sikap kupeg (ndableg) manusia terhadap alam semesta ini (cosmos), minimal alam lingkungan kehutanan.
Apakah, seluruh negara membiarkan kerusakan alam yang terjadi saat ini dibiarkan begitu saja. Kita harus bijak dalam menesuri siapa aktor sebenarnya. Dengan menelusuri krisis yang menerjang alam, maka kita temukan sejumlah aktor sebagai variabel. Yaitu, tindakan jahat korporat, penyelenggara negara yang lebih mengedepankan berkomplot dengan manusia-manusia bandit anti-lingkungan dibanding hak stabilitas struktur alam.
Mereka itulah aktor utama yang layak digiring dengan stigma teroris lingkungan. Dengan stigma itu, maka mewajarkan sanksi super beratnya. Inilah stigmatisasi yang layak dikumandangkan. Agar siapapun yang terlibat dalam penghancuran ekosistem lingkungan ini menjadi jelas, terkait kepastian hukum, ataupun bobot keadilannya bagi yang terdampak. Seluruh elemen cosmos berhak terjaga rotasinya sesuai orbitnya. Dan alam lingkungan dan segenap populasinya termasuk manusia dan hewan juga berhak hidup sehat sebagai kodratnya. Dan inilah iradat-Nya yang tak boleh dinistakan (dirusak). Karena perusakannya sama artinya menistakan sang Pencipta itu sendiri. Hebat nian…
Semoga menjadi perenungan mendalam untuk kita semua. Dan menjadi pijakan reflektif untuk mereformasi total paradigma dan tindakan yang selaras dengan hak-hak alam semesta.
Penulis: analis politik dan pembangunan
