Banjir dan Tanah Longsor di Sumatera: Hutan Dirusak, Rakyat Jadi Korban, Siklus Brutal Kebijakan Lingkungan

  1. Di satu sisi, menerbitkan aturan ketat atas perlindungan lingkungan.
  2. Di sisi lain, terus mendorong ekspansi pertambangan, perkebunan, dan pembangunan yang menggerus kawasan lindung.

Ketika kepentingan ekonomi jangka pendek mendominasi, prinsip keberlanjutan (sustainability) terdegradasi menjadi jargon.

Padahal Fernando et al. (2020) menegaskan bahwa negara hanya dapat dianggap menjalankan kewajiban konstitusionalnya, apabila melaksanakan prinsip due diligence, yaitu; tindakan kehati-hatian, pencegahan, dan pengawasan aktif terhadap setiap potensi kerusakan lingkungan.

Kehadiran Negara Tidak Cukup Hanya Saat Terjadi Bencana

Setiap kali bencana terjadi, negara hadir di depan kamera : meninjau lokasi, mengirim bantuan, memberikan pernyataan belasungkawa, yang absen adalah kehadiran sebelum bencana, yaitu dalam bentuk:

  1. Penegakan hukum atas pembalakan liar,
  2. Audit lingkungan pada perusahaan tambang,
  3. Evaluasi izin usaha,
  4. Penataan ulang kawasan hutan lindung
  5. Pengawasan ketat terhadap daerah tangkapan air dan sempadan sungai.

Dalam perspektif hukum lingkungan, negara dianggap lalai apabila:

  1. Mengabaikan peringatan ilmiah,
  2. Memberikan izin di kawasan rawan,
  3. Gagal melakukan pengawasan,
  4. Tidak mencabut izin yang bermasalah,
  5. Tidak menindak pelanggaran dan pembalakan liar.

Banjir bandang di Sumatera adalah cermin dari kelalaian negara.

Sudah saatnya media, pemerintah, dan masyarakat berhenti menyebut bencana ekologis sebagai “musibah” belaka.
Banjir dan longsor bukan musibah, tetapi akibat dari:

Exit mobile version