JAKARTA, Mediakarya – Rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengambil alih tanah-tanah menganggur milik masyarakat menuai kritik keras dari berbagai pihak.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), Mufti Mubarok, menyatakan bahwa kebijakan tersebut berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara serta bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan keadilan sosial.
“Tanah bagi masyarakat Indonesia bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga simbol dan simpanan masa depan untuk anak-cucu. Pemerintah seharusnya tidak gegabah mengambil kebijakan yang mengancam rasa aman masyarakat atas kepemilikan tanah,” tegas Mufti dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Kamis (7/8)/2025.
Menurutnya, alih-alih mengambil alih tanah rakyat, pemerintah seharusnya membenahi terlebih dahulu ribuan aset negara yang terbengkalai, termasuk tanah-tanah milik negara yang tidak dimanfaatkan serta rumah dinas yang dibiarkan kosong dan rusak.
“Ada ribuan hektar tanah milik negara yang tidak produktif, rumah dinas yang terbengkalai, bahkan sebagian justru jadi sumber konflik agraria. Ini belum dibenahi, kok malah rakyat yang dibebani,” kata Mufti.
Dari Perspektif Hukum dan Konstitusi
Rencana ATR/BPN ini merujuk pada prinsip land reform dan pengaturan hak atas tanah sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, khususnya:
Pasal 6 UUPA: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Pasal 10 ayat (1): “Setiap orang yang mempunyai hak atas tanah pertanian, wajib mengusahakan atau mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif.”
Pasal 27: “Hak milik hapus jika tanahnya ditelantarkan.”
Namun demikian, menurut BPKN, pelaksanaan pasal-pasal tersebut tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan substantif dan perlindungan hak konstitusional warga negara, sebagaimana dijamin dalam:
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak memiliki milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang.”
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Dalam praktiknya, pelabelan “tanah terlantar” pun kerap menjadi celah bagi penyerobotan tanah atau mafia tanah, yang justru merugikan masyarakat.
“Bila tanah tidak dikuasai secara fisik, belum tentu ditelantarkan. Banyak masyarakat sengaja menyimpan tanah untuk keperluan anak cucu, untuk diwariskan, atau karena belum memiliki cukup modal untuk membangun. Apakah itu bisa disebut melanggar hukum? Kami tidak sepakat,” ujar Mufti.
Perlu Pengujian dan Partisipasi Publik
Dari sisi hukum tata negara, rencana kebijakan seperti ini harus diuji secara formil dan materil, termasuk kemungkinan dilakukan uji materi (judicial review) jika sudah berbentuk peraturan atau perundang-undangan. Produk hukum seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri harus diuji kesesuaiannya dengan Undang-Undang dan UUD 1945.
“Kalau ini jadi Peraturan Menteri atau PP, maka bisa kita dorong uji materi ke Mahkamah Agung. Kalau jadi Undang-Undang, maka bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi,” jelas Mufti.
Selain itu, BPKN RI juga menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan tersebut.
“Kami tidak melihat adanya konsultasi publik yang berarti. Padahal, kebijakan ini menyentuh sendi hak milik warga. Pemerintah tidak boleh membentuk peraturan yang mengancam hak rakyat tanpa partisipasi mereka,” tutup Mufti.