Catatan Kritis Atas Rencana Penghapusan Beras Premium dan Medium

Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori.

Oleh: Khudori

DALAM beberapa hari ini publik, terutama yang tecermin dari pemberitaan di media massa, disibukkan oleh pembahasan rencana pemerintah menghapus beras premium dan medium saat ini. Ke depan, hanya ada beras umum atau beras reguler dan beras khusus. Hanya ada dua klasifikasi beras itu. Beras umum pun tidak lagi dibagi menjadi dua seperti di Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Beras umum ya beras umum. Titik. Tak ada koma.

Pemerintah akan tetap mengatur harga eceran tertinggi (HET) beras reguler, sebagai batas atas di pasaran. Untuk beras khusus harganya tidak diatur pemerintah. Namun, pelaku usaha perlu memegang sertifikat terhadap merek beras khusus itu. HET beras diatur di Peraturan Bapanas No.5/2024. HET beras dibagi tiga zona: zona produsen, zona produsen tapi defisit, dan zona konsumen. HET beras medium dipatok Rp12.500 sampai Rp13.500 per kg. HET beras premium antara Rp14.900 sampai Rp15.800 per kg.

Seperti diatur di Peraturan Kepala Bapanas No 2/2023, beras umum dibagi menjadi beras pecah kulit dan beras sosoh. Sedangkan beras khusus mencakup beras ketan, beras merah, beras hitam, beras varietas lokal, beras fortifikasi, beras organik, beras indikasi geografis, beras dengan klaim kesehatan, dan beras tertentu yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Baik beras umum maupun beras khusus wajib bebas hama, bebas bau apak, asam, dan bau asing lain, dan memenuhi syarat keamanan.

Dalam peraturan itu, kelas mutu beras terbagi menjadi beras premium, beras medium, beras submedium, dan beras pecah. Perbedaan empat kelas mutu beras ini didasarkan pada derajat sosoh, kadar air, butir patah, butir menir, butir gabah, total butir beras lain, dan benda lain. Misalnya, beras premium minimal derajat sosohnya 95%, maksimal kadar air, butir patah, butir menir, butir gabah, total butir beras lain, dan benda lain masing-masing 14%, 15%, 0,5%, 0%, 1%, dan 0%. Beras medium syaratnya lebih rendah. Beras khusus tidak diatur kelas mutunya seperti beras umum.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kualifikasi mutu beras umum dan beras khusus ditetapkan? Lalu, dengan kualifikasi mutu beras itu, pada HET berapa beras umum dipatok? Lebih dari itu, apakah meniadakah beras premium dan medium ini jalan keluar dari ‘kekisruhan’ di dunia perberasan saat ini? Apa implikasi dari rencana ini jika benar-benar dieksekusi? Apa saja alternatif yang tersedia yang bisa dipilih?

Pertanyaan ini bisa diperpanjang. Tapi lima pertanyaan itu setidaknya mewakili rasa ingin tahu dan kegelisahan publik atas rencana kebijakan pangan pokok ini. Dalil kebijakan publik: tidak ada satupun kebijakan yang memuaskan semua pihak. Pasti ada pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan. Kebijakan publik yang baik adalah bagaimana meminikan pihak yang dirugikan dan memperbesar pihak yang diuntungkan. Tidak mudah. Sudah pasti. Itulah tantangan krusial bagi setiap pejabat publik.

Seperti pada tulisan 27 Juli 2025 berjudul “Penyaluran Beras BULOG: Kalau Bisa Dipersulit Mengapa Dipermudah”, kebijakan perberasan tidak mudah karena menyangkut konsumen yang hampir 285 juta jiwa, yang kontribusi beras mencapai 5,20% dari jumlah pengeluaran keluarga, bahkan mencapai 25,87% bagi warga miskin. Ketika harga beras naik 10% kemiskinan akan naik 1,3%. Mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan bisa jadi kaum miskin baru. Kerumitan juga terkait dengan petani padi berjumlah puluhan juta keluarga dan penggilingan padi, besar dan kecil, 169 ribu.

Kondisi riil lain yang patut dipertimbangkan adalah antara penggilingan padi skala kecil dan skala menengah-besar adalah investasi yang berbeda dengan produk berbeda pula. Penggilingan padi kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi. Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi.

Sialnya, dari 169.000 unit 95% tergolong penggilingan kecil, disusul penggilingan menengah 4,32% dan besar 0,62%. Dominasi penggilingan padi kecil adalah hasil kebijakan era 1970-an, ketika konsumen masih memperlakukan beras sebagai komoditas homogen. Lebih dua dekade terakhir telah terjadi perubahan drastis pada preferensi konsumen beras. Beras tak lagi dipandang sebagai komoditas homogen, tapi produk heterogen sesuai atribut: rasa, kualitas, varietas, kemasan, dan bahkan brand. Saat ini pangsa beras premium aneka merek ini diperkirakan 30% dari konsumsi nasional.

Apapun kebijakan yang diambil, termasuk penyederhaan klasifikasi beras, harus menimbang kondisi riil di atas. Menurut hemat saya, setidaknya tersedia empat alternatif yang bisa ditimbang dengan segenap plus-minusnya. Pertama, HET beras umum adalah beras premium dengan tingkat butir patah terendah. Ketentuan ini sebaiknya mengacu ke SNI 2015: maksimal butir patah 5% dan butir menir 0%. Derajat sosoh 95%. Dengan ketentuan ini, harga beras dengan kelas mutu di bawahnya akan menyesuaikan.

Mengapa harus mengacu ke SNI 2015? Bukankah sudah ada SNI 2020 dan Peraturan Kepala Bapanas No. 2/2023? Kedua regulasi terakhir ini mendegradasi SNI 2015. SNI 2015 ditetapkan melalui kajian standar mutu beras internasional, termasuk kesiapan industri perberasan. Bukankah Kementerian Pertanian menargetkan ekspor beras pada 2029? Bukankah Indonesia juga terkadang memberi bantuan beras ke negara lain? Acuan ke SNI 2015 membuat kualifikasi mutu beras Indonesia setara beras dunia: kualitas terbaik. Beras terbaik ini pula untuk bantuan ke negara lain. Bukan beras medium.

Dengan ketentuan ini, pemilik merek beras premium bisa berlomba-lomba menawarkan produk terbaiknya untuk konsumen. Penggilingan padi kecil bisa memproduksi beras kelas di bawahnya. Tentu dengan harga menyesuaikan. Penggilingan padi besar dan kecil tetap beroperasi sesuai kemampuan masing-masing. Konsumen beras premium dan medium tetap terlayani. Salah satu risikonya: harga beras cenderung mendekati HET. Artinya, konsumen beras kualifikasi di bawah premium membayar lebih mahal.

Kedua, HET beras umum adalah titik tengah HET dan kelas mutu antara beras medium dan premium. Konsekuensinya: masyarakat yang biasa mengonsumsi beras medium akan terbebani oleh kenaikan harga. Warga miskin/rentan tidak memiliki pilihan beras dengan harga lebih terjangkau. Konsekuensi lainnya, jika maksimal butir patah 12,5%-15% dan butir menir 1% (ini nilai tengah kelas mutu medium dan premium), penggilingan padi kecil dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kualifikasi mutu ini. Ketentuan ini membuat regulasi di Indonesia masih selaras dengan internasional.

Ketiga, membebaskan HET beras premium dengan mewajibkan produsen memproduksi beras medium dengan rasio tertentu (misalnya 50:50) pada HET yang ditentukan. Jadi, HET hanya ada pada beras medium dengan kualifikasi mutu: maksimal butir patah 25% dan butir menir 2%. Derajat sosoh minimal 95%. Dengan cara ini, produsen beras premium bisa berlomba-lomba menawarkan produk terbaik bagi konsumennya. Dengan tiada HET beras premium, keuntungan produsen bisa di-‘subsidi’ silangkan ke beras medium.

Penggilingan padi kecil tetap bisa memproduksi dan melayani konsumen sesuai kemampuan. Konsumen beras premium dan medium tetap terlayani, sesuai kemampuan daya beli. Yang lebih penting, dengan rasio kewajiban memproduksi beras medium dengan rasio tertentu tidak perlu ada kekhawatiran pasokan beras konsumei warga kebanyakan ini kurang. Lebih dari itu, regulasi di sini tetap selaras dengan internasional.

Keempat, menghapus HET, baik beras premium maupun medium. HET diganti dengan ‘harga langit-langit’ (ceiling price). Berbeda dengan HET, ‘harga langit-langit’ tidak mengikat publik, tapi hanya mengikat BULOG sebagai representasi pemerintah. Karena itu, ‘harga langit-langit’ tidak perlu diumumkan ke publik seperti HET. ‘Harga langit-langit’ menjadi alarm bagi pemerintah lewat BULOG untuk mengintervensi pasar.

Opsi keempat ini harus dibarengi dengan mengubah paradigma pemerintah (melalui BULOG) dari sebagai pemadam gejolak harga pangan (baca: pemadam kebakaran) menjadi pembentuk (pelaku) pasar yang stabil. Untuk bisa menjadi pembentuk (pelaku) pasar yang stabil (pasokan dan harga), volume “bisnis” pemerintah yang dikelola BULOG harus diperbesar: dari rerata 8%-10% saat ini menjadi paling sedikit 20%, idealnya 30%, dari konsumsi beras masyarakat Indonesia.

Stok itu tidak disimpan di gudang sebagai stok besi (iron stock) yang baru digerakkan ketika dibutuhkan, untuk operasi pasar dan bantuan bencana misalnya. Atau ditumpuk untuk mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah seperti saat ini. Tapi stok ditempatkan di pasar sebagai bagian yang diperdagangkan tiap hari dengan kendali penuh dari pemerintah. Dengan tata kelola seperti ini, stok bukan barang mati (dead stock), tetapi menjadi stok dinamis atau lincah (dynamic atau mobile stock).

Karena volume jual-beli besar, maka secara efektif akan menstabilkan harga dan ketersediaan beras. Tatkala ini terjadi, BULOG akan menjadi penentu, rujukan, dan pemimpin harga pasar beras. Dengan perluasan cakupan bahan pangan, maka BULOG akan jadi pembentuk harga pasar pangan. Harga pangan di pasar akan stabil, sehingga biaya operasi pasar dapat dialihkan menjadi subsidi harga pangan bagi penduduk miskin.

Mana alternatif yang dipilih, kebijakan pembelian gabah semua kualitas saat ini harus diubah dan dikembalikan dengan syarat kualitas: maksimal kadar air 25% dan butir hampa 10%. Juga ada rafaksi harga gabah. Pembelian gabah semua kualitas berdampak pada kenaikan harga gabah kering panen bernas (isi) seiring kenaikan kadar air dan butir hampa. Ini membuat harga beras tinggi dan selalu di atas HET saat ini. Selain itu, pembelian gabah semua kualitas menimbulkan moral hazard di banyak lini.

Harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan HET beras adalah satu paket. Kenaikan HPP tanpa diikuti penyesuaian HET membuat keseimbangan antara pelaku di hulu (petani) dan di hilir (penggilingan dan produsen beras) tidak lagi terjadi. Ketika HPP gabah naik tanpa penyesuaian HET beras, pelaku di hilir terhimpit oleh HET. Kebijakan HPP dan HET yang tak satu paket membuat penggilingan berhenti menyerap dan berproduksi. Pendek kata, penetapan HPP gabah dan HET beras harus dilakukan secara rasional.

Saat ini memasuki panen gadu. Di semester II-2025 ini produksi beras diperkirakan mencapai 40% dari produksi setahun. Potensi panen ini harus diserap bersama oleh para pihak di industri perberasan. Jika tidak, akan menimbulkan masalah ketersediaan dan kekurangan pasokan di pasar. Tindakan represif aparat penegak hukum mesti dihentikan agar para pihak tenang dan saling bahu membahu mengisi pasar.

Ini bukan berarti menutup mata atas pelanggaran yang terjadi. Yang sudah terjadi silakan ditindak sesuai pelanggaran. Di lain pihak, harus ada upaya introspeksi dan koreksi atas kebijakan yang tidak adil yang mendorong penyimpangan terjadi. Apapun penyimpangan itu. Termasuk introspeksi bagi otoritas pemangku produk segar asal tumbuhan yang tak berfungsi baik. Terakhir, apapun keputusan atas 4 alternatif di atas, para pihak di industri perberasan perlu diberikan waktu transisi yang cukup.

Penulis: Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Komite dan  Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *