CBA Sebut Aset Telkom Susut, Pendapatan Turun dan Utang Membengkak

Direktur eksekutif Center of Budget Analisis (CBA) Uchok Sky Khadafi

JAKARTA, Mediakarya – Belum genap tiga bulan menjabat sebagai Direktur Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, Dian Siswarini sudah menghadapi tantangan besar yang mengguncang fondasi keuangan perusahaan pelat merah tersebut. Data terbaru menunjukkan penurunan drastis dalam kinerja Telkom yang memicu sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk dari lembaga pengawasan anggaran publik, Center for Budget Analysis (CBA).

Direktur CBA, Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan bahwa indikator fundamental keuangan Telkom menunjukkan tren yang sangat memprihatinkan. Dalam laporan yang dirilisnya, terjadi penurunan aset sebesar Rp5,8 triliun dalam periode satu tahun terakhir, dari Rp299 triliun (Juni 2024) menjadi Rp293 triliun (Juni 2025).

“Ini bukan penurunan biasa, ini penurunan yang mencerminkan lemahnya arah kebijakan strategis di tubuh Telkom setelah kepemimpinan baru masuk,” ujar Uchok dalam keterangannya kepada media, Rabu (6/8/2025).

Yang lebih mencemaskan lagi adalah angka utang atau total kewajiban Telkom yang melonjak signifikan. Pada Juni 2024, Telkom memiliki utang sebesar Rp137,1 triliun. Namun dalam laporan keuangan terbaru, angka tersebut naik drastis menjadi Rp145,4 triliun. Artinya, terjadi lonjakan utang sebesar Rp8,2 triliun hanya dalam setahun.

Menurut Uchok, membengkaknya utang ini menjadi sinyal alarm serius. “Kalau ini terus dibiarkan, Telkom tidak hanya akan kehilangan daya saing di industri, tapi juga akan membebani fiskal negara jika perlu diselamatkan lewat intervensi,” tambahnya.

Penurunan juga terlihat dari sisi pendapatan. Selama periode Juni 2025, pendapatan Telkom tercatat hanya Rp73 triliun, turun Rp2,2 triliun dari Rp75,2 triliun pada Juni 2024. Ini menandakan adanya stagnasi bahkan kontraksi di lini bisnis yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan digital nasional.

Jika dibandingkan dengan era kepemimpinan sebelumnya, kinerja kuartalan di bawah Dian Siswarini terlihat semakin menurun. Pada masa Ririek Adriansyah, Telkom mengalami lonjakan pendapatan dari Rp37,4 triliun (Maret 2024) menjadi Rp75,2 triliun (Juni 2024), atau tumbuh Rp37,8 triliun.

Sebaliknya, pada kuartal pertama di bawah Dian Siswarini, pendapatan hanya meningkat dari Rp36,6 triliun (Maret 2025) menjadi Rp73 triliun (Juni 2025), atau naik Rp36,4 triliun. Ini berarti pertumbuhan yang dicapai lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya, sekalipun menghadapi tekanan pasar dan tantangan global yang relatif serupa.

“Bukan hanya soal angka, tapi soal kepemimpinan strategis yang visioner dan mampu membaca arah industri. Kinerja kuartalan ini menjadi refleksi lemahnya kepemimpinan baru di Telkom,” kritik Uchok.

Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sangat strategis, Telkom memiliki posisi krusial dalam menopang agenda digitalisasi nasional, termasuk pembangunan jaringan internet hingga ke pelosok, transformasi smart city, dan digitalisasi layanan publik.

Uchok Sky Khadafi menegaskan bahwa penurunan performa Telkom bukan hanya menjadi persoalan korporasi, melainkan menyangkut kepentingan publik yang lebih luas.

“Telkom bukan sekadar perusahaan biasa. Ia adalah tulang punggung infrastruktur digital nasional. Kalau Telkom goyah, maka efek domino bisa terasa ke berbagai sektor — pendidikan, ekonomi digital, layanan pemerintahan, dan keamanan data nasional,” ujar Uchok.

Menurutnya, pemerintah harus memberi atensi khusus terhadap arah kebijakan yang diambil manajemen baru. “Kita harus kawal bersama. Kalau perlu, BPK dan Kementerian BUMN segera melakukan evaluasi mendalam. Jangan menunggu sampai publik kehilangan kepercayaan dan investor hengkang.”

Kini publik menantikan langkah konkret dari Dian Siswarini sebagai nakhoda baru Telkom. Gebrakan seperti efisiensi operasional, penajaman lini bisnis digital, dan penguatan transformasi teknologi menjadi agenda mendesak yang tidak bisa ditunda.

CBA menilai bahwa salah satu kelemahan yang harus segera dibenahi adalah struktur organisasi dan pengambilan keputusan yang terlalu birokratis serta tidak adaptif terhadap perubahan teknologi dan perilaku konsumen.

“Jika Telkom hanya mengandalkan dividen dan revenue dari legacy bisnis seperti layanan telepon dan broadband tanpa memperkuat pilar digitalisasi seperti big data, cloud, dan cybersecurity, maka bukan hanya ketinggalan zaman, tapi juga ketinggalan pasar,” tegas Uchok.

Tren kemerosotan Telkom di awal kepemimpinan Dian Siswarini menjadi alarm keras bahwa perubahan di pucuk pimpinan tidak boleh sekadar formalitas. Dibutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya mampu membaca angka, tapi juga menggerakkan sumber daya manusia dan inovasi teknologi untuk mengembalikan posisi Telkom sebagai ikon keberhasilan BUMN digital di Asia Tenggara.

Jika dalam enam bulan ke depan tidak ada perbaikan yang signifikan, bukan tidak mungkin desakan dari publik, pengamat, hingga regulator akan semakin kuat untuk mengevaluasi ulang arah Telkom di bawah kepemimpinan baru ini. **

Exit mobile version