Oleh: Agus Wahid
Dijadikan ajang memperkaya diri. Itulah mayoritas kepala desa (ksades) saat dana desa cair. Implikasinya jelas. Dana desa yang harusnya untuk membangun keberadaan desa untuk memajukan desanya bahkan kesejahteraan masyarakatnya, yang terjadi justru sebaliknya. Dari tahun ke tahun, kondisi desa tak mengalami perubahan yang berarti dari sisi infrastruktur. Masih tetap terlihat tertinggal, atau stag di tempat. Masyarakatnya pun mayoritas tetap miskin. Jika terjadi perkembangan kesejahteraan, itu karena ikhtiar masyaakat desa itu sendiri yang berusaha bangkit.
Data menunjukkan, kebijakan alokasi dana desa berjalan sejak 2015. Berarti, sejak pemerintahan Jokowi. Pada awal tahun diluncurkan pada 2015, total nilai alokasi dana untuk seluruh desa di Tanah Air ini sebesar Rp 20,7 triliun. Terakhir, pada 2024, terkucur dana Rp 71 triliun.
Besaran dana desa bervariasi, tergantung jumlah penduduk. Untuk klister pertama (jumlah penduduk 1 – 100 orang), desa tersebut terima Rp 410.958.000,- Untuk jumlah penduduk 101 – 1.500 orang, desa tersebut terima Rp 481.808.000,- Klaster ketiga (jumlah penduduk 501 – 1000 orang), terima alokasi dana desa sebesar Rp 544.646.000,- Klaster keempat (jumlah penduduk 1.500 – 3000 orang), mendapat alokasi dana desa sebesar Rp Rp 670.490.000,- Klaster kelima (jumlah penduduk 3000 – 10.000 orang), mendapat alokasi dana desa sebesar Rp 733.178.000,- Dan klister ketujuh (jumlah penduduknya lebih dari 10.000 jiwa), terima dana desa sebesar Rp 790.022.000,-
Jika kita kalkulasi secara obyektif, sejumlah dana desa yang diterima itu masih jauh dari kata ideal. Hal ini jika dana desa yang diterimanya memang digunakan secara efektif untuk misi pembangunan desa, terkait sarana jalan dan irigasi, meski bersifat perbaikan. Semakin jauh dari nilai ideal jika dana desa itu juga digunakan untuk misi penguatan ekonomi rakyat.
Namun demikian, kita tak bisa memungkiri, alokasi dana desa tergolong besar manakala kita telisik secara obyektif di lapangan. Data di lapangan menjukkan, dana desa yang telah berjalan sejak 2015 tergolong salah sasaran. Sebab, peruntukannya bukan untuk misi pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. Yang terjadi justru untuk memperkaya diri kade, at least, sejumlah aparat desa. Ada nuansa korupsi berjamaah.
Catatan itu tertopang dengan data faktual di lapangan. Pertama, data kemiskinan di pedesaan. Sekedar contoh, pada 2024, angka kemiskinan mencapai 13,01 juta orang (11,34%). Sifat kemiskinan struktural. Kedua, tak sedikit kades yang terjerat kasus korupsi. Menurut data Kejaksaan Agung, pada 2024, terdapat kasus penyalahgunaan dana desa (korupsi) sebanyak 489 kasus. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dari 2015 – 2024, terdapat 851 kasus korupsi yang menyeret 973 pelaku. Sebanyak 50%-nya kepala desa.
Berangkat dari data faktual itu, Purbaya bersikap tegas: segera meninjau kembali kebijakan alokasi dana desa, yang – secara historis – dirancang sebagai kepentingan politik praktis (pemenangan kontestasi pemilihan presiden). Arah kebijakan Purbaya menunda pencairan selama belum ada laporan keuangan bagi setiap desa.
Arah kebijakan ekonomi pembangunan pedesaan – di satu sisi – untuk mengefektifkan keuangan negara. Di sisi lain, mencegah terjadinya manipulasi (korupsi) keuangan negara. Misi ini jelaslah mengarah ke penyelamatan keuangan negara dari praktik penggarongan yang selama ini terjadi. Namun – dari sisi kemanusiaan – kebijakan Purbaya sesungguhnya menyelamatkan kepentingan para kades dan atau kroninya dari jeratan hukum.
Bahkan, jika mendasarkan prinsip keagamaan, kebijakan Purbaya sejatinya menyelamatkan para kades dan atau aparaturnya dari “api neraka”. Sebab, penyalahgunaan dana desa jelas-jelas mengambil hak sosial-ekonomi penduduknya, termasuk kaum fakir-miskin. Penyalahgunaan itu berdampak pada proses stagnasi kemiskinan struktural. Dan perbuatan ini sungguh nista di mata Allah atau al-Islam, yang menyebabkan Sang Pencita Murka. Dan neraka adalah salah satu bentuk kemurkaan-Nya.
Itulah misi penyelamatan dunia-akherat yang jarang dipahami para kades atau aparaturnya yang cenderung ikut “mengeroyok” dana desa. Kok tidak bisa dipahami? Ya. Di lapangan, kita saksikan demo massif dari ribuan kades. Belum lama ini – tepatnya 8 Desember 2025 – ribuan kades berdemo di depan Gedung DPR/DPD/MPR RI, Senayan (Jakarta). Mereka menilai Peraturan Menteri Keuangan (PKK) No. 81 Tahun 2025 dinilai menghambat pencairan dana desa, yang akan berdampak pada risiko ketersendatan pembangunan desa.
Suara simponi para kades terasa indah didengarnya. Tapi, sesungguhnya, suara simponi itu suara “busuk”. Sebab, secara substantif, tak sesuai dengan realitas derap pembangunan di wilayah pedesaan, kecuali sebagian kecilnya. Di antara sebagian kecil, kita jumpai data Desa Purwasaba, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Nama Kepala Desanya Welas Yuni Nugraho, lebih dikenal dengan Hoho Alkaf. Orangnya cukup nyentrik. Badannya penuh tato. Tapi, kepemimpinannya penuh intergritas.
Data menunjukkan, di bawah kepemimpinan Hoho, jalan-jalan desanya teraspal rapi. Kegiatan ekonomi masyarakat seperti perikanan, peternakan dan pertanian berkembang. Terlihat maju kesejahteraannya. Dia juga mendidikan BUMDes sebagai gerakan ekonomi pedesaan Bersama rakyat.
Kita dapat mereview dengan jernih, alokasi desa Purwasaba sangat sesuai peruntukannya. Dan tidak tertutup kemungkinan, Hoho yang dulunya kontraktor justru banyak mengeluarkan dana pribadinya. Artinya, ia terjauh dari praktik korupsi untuk kepentingan pribadinya. Sangat disayangkan, prototip karakter kepemimpinan seperti Kades Hoho sangat langka. Yang dominan, setelah terpilih sebagai kades, yang terjadi adalah aji mumpung (carpedium). Mumpung berkuasa, kapan lagi. Saatnya untuk menggarong dana negara dan berfoya-ria.
Itulah prototip karakter kades yang harus dibesihkan. Dan Purbaya – selaku pemegang otoritas keuangan negara – wajib membenahinya. Di antara kebijakannya adalah menunda pencairan, mescreening dana setiap desa sebelum dicairkan dananya. Sikap dan kebijakan Purbaya tentu mengecewakan para kades korup. Itulah yang kita saksikan pada suara lantang ribuan kades yang mengumandangkan aspirasi, yang mengatasnamakan rakyat atau masyarakat. Tapi, sejatinya sedang memperjuangkan kepentingan pribadinya yang terhenti akibat kebijakan bersih Purbaya.
Lalu, apakah Purbaya akan meluntur dengan desakan ribuan kades itu? No. bagi Purbaya, tak ada kata takut, apalagi mundur. Jangankan selevel kades. Selevel Bupati/Walikota, Gubernur bahkan rekan-rekan sekabinetnya, Purbaya tak terlihat sedikitpun ciut hatinya. Hanya satu komitmennya: keuangan negara harus diselamatkan dari tikus-tikus yang selama ini menggerogoti keuangan negara.
Maasyaa Allaah…. Andai Purbaya hadir jauh sebelumnya, tentu ekonomi negara tidak separah selama sepuluh tahun terakhir ini. Kehadirannya pun sangat mungkin mencegah mafia-mafia raksasa yang bersekongkol dengan penguasa selaku bandit politik.
Kini, Purbaya hadir di saat mafia dan persekongkolan itu sedemikian mengkristal. Implikasinya, Purbaya tidak hanya menghadapi perlawanan kaum kades, tapi juga para elit lokal dan nasional. Juga, harus menghadapi kekuatan hegemonik oligarki yang selama ini menjadi komprador para elit bandit kekuasaan yang demikian rakus.
Purbaya memang harus berhadapan dengan seluruh elemen bandit itu. Tapi, rakyat bersamanya. Karena, kepentingan rakyat sudah sekian lama diperkosa bahkan dikebiri. Andai Purbaya disingkirkan secara keji, tak ada opsi lain bagi rakyat: para penyingkir itu sama artinya pilih dibanguskan dari muka bumi ini. Rakyat kini dalam posisi kemarahan puncak. Maka, tidaklah tertutup kemungkinan, Purbaya akan menjadi triger gerakan revolusioner jika para bandit manapun mencoba atau berusaha menyirnakan sosok Purbaya. Let`s see…
Penulis: analis politik




