Dinilai Terlalu Gemuk, Kabinet Prabowo Ancam Fiskal APBN

JAKARTA, Mediakarya – Presiden terpilih Prabowo Subianto telah memanggil sejumlah calon menteri dan calon wakil menteri untuk mengisi sejumlah posisi di kabinetnya.

Komposisi jumlah kementerian dalam Kabinet Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo dan Gibran dikabarkan akan mengalami penambahan yang signifikan.

Semula kursi kabinet pada era Presiden Jokowi berjumlah 34 kini diprediksi menjadi sebanyak 46.

Kabar mengenai hal ini pun lantas menjadi perhatian publik. Sebab, rencana penambahan jumlah kementerian ini sering dipandang sebagai politik balas budi.

“Saya menilai hal ini sah-sah saja bagi Prabowo dalam menyusun kabinetnya dengan memilih para pembantunya di pemerintahan yang akan datang,” ujar Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), Wibisono, dalam keterangan tertulisnya kepada Mediakarya, Kamis (17/10/2024).

Namun, dalam pandangannya, kabinet yang terlalu banyak atau gemuk, justru tidak akan terlalu efektif. Ia memprediksikan kursi kabinet akan minim dengan figur profesional, namun justru banyak diisi oleh utusan partai atau relawan pendukungnya.

“Yang kami khawatirkan adalah bias dari politik balas budi, sehingga kursi menteri akan diisi oleh banyak politisi, bukan dari kalangan profesional yang memang kompeten di bidangnya,” ujarnya.

Konsekuensi lainnya dari kabinet pemerintahan baru yang besar, lanjut Wibi, pastinya membuat ruang oposisi semakin kecil. Sehingga, peran dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah,akan semakin sulit dilakukan.

“Terkait fiskal APBN yang akan tergerus untuk bayar pegawai yang tentunya akan membengkak dari jumlah kementrian yang ada,” katanya.

Sumber Anggaran Disorot

Wibi pun mengkategorikan bahwa “belanja rutin” adalah semua belanja APBN di luar Belanja Modal. Artinya, “belanja rutin” terdiri dari belanja pegawai, belanja barang (termasuk biaya pemeliharaan), pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Sementara, total belanja rutin tersebut sudah mencapai 86-88 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Hal itu sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp337 triliun, saat ini pendapatan negara sudah habis untuk “belanja rutin”.

“Anggaran pembangunan jaman Pak Harto sekarang dinamakan Belanja Modal, dan sepenuhnya juga dibiayai dari utang. Yaitu, Belanja Modal hanya Rp 303 triliun tetapi defisit atau utang anggaran mencapai Rp337 triliun,” ungkap Wibi.

Menurut dia, belanja pegawai dan pembayaran bunga utang sangat rigid. Hampir tidak mungkin dipangkas. “Jika tidak salah, kedua pos anggaran ini saja sudah mencapai 40-45 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat,” jelasnya.

“Tetapi, belanja barang, subsidi, dan bantuan sosial kan masih bisa fluktuasi atau dipangkas. Karena ketiganya tidak murni belanja rutin,” tambah Wibi.

Namun demikian kata dia, fluktuasinya tidak bisa terlalu besar. Belanja barang, namanya saja belanja barang, tetapi sebenarnya adalah belanja operasional rutin juga, termasuk biaya pemeliharaan rutin.

“Jadi tidak bisa dipangkas terlalu banyak. Belanja barang saja sudah mencapai sekitar 22 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, yang sudah termasuk utang anggaran tadi, Sedangkan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial sebenarnya juga termasuk belanja rutin,” katanya.

Selain itu, selama kondisi sosial masyarakat tidak banyak berubah, seperti yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini, maka kebutuhan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial juga masih sama.

“Bahkan kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini malah memburuk, sehingga belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik. Tetapi di era pemerintahan Jokowi malah dipangkas,” sebutnya.

Wibi menyebutkan, jika belanja subsidi atau bantuan sosial dikurangi hanya untuk membiayai penambahan jumlah kementerian yang membengkak, risikonya cukup besar. Sebab, daya beli masyarakat kelompok bawah akan turun drastis, dan tingkat angka kemiskinan akan naik.*”

Exit mobile version