JAKARTA, Mediakarya – Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai program ambisi Presiden Jokowi yang sedianya digunakan untuk pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih hasil pilpres 2024 lalu, akhirnya gagal total.
Bahkan sejumlah kalangan menilai proyek yang menelan anggaran triliunan rupiah itu bakal mangkrak, bahkan ada potensi kerugian negara yang melampaui kasus korupsi Wisma Atlet di Hambalang Kabupaten Bogor.
Seperti diungkapkan Sosiolog Prof Sulfikar Amir membeberkan indikasi potensi mega korupsi dalam proyek IKN nilainya diprediksi lebih besar dari kasus korupsi Hambalang.
Sulfikar Amir menyoroti bahwa proses perencanaan IKN dianggap tidak demokratis dan mengabaikan partisipasi masyarakat lokal.
“Masyarakat tidak pernah ditanya apakah mereka mendukung atau setuju dengan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan,” ujar Sulfikar Amir yang dilansir dari youtube Bambang Widjojanto, Selasa (15/10/2024).
Menurutnya sebuah kota yang layak huni harus dibangun atas dasar keinginan dan partisipasi warga.
Dalam pandangan Prof Sulfikar Amir proyek IKN ini merupakan puncak dari ambisi Presiden Jokowi untuk meninggalkan warisan fisik berupa sebuah kota baru.
Namun ia menyebut bahwa proyek ini justru berpotensi menjadi “antiklimaks” dari kepemimpinan Jokowi.
Proyek yang awalnya diharapkan menjadi penutup manis dari 10 tahun masa jabatannya kini dihadapkan pada masalah serius.
Sulfikar Amir juga mengkritik bahwa Jokowi memaksakan pembangunan IKN tanpa memperhitungkan kapasitas pemerintah dan sumber daya finansial yang besar.
“Membangun kota itu bukan hanya soal uang tetapi juga kapasitas pemerintah dalam mengelola proyek besar,” tambahnya.
Lebih lanjut Sulfikar Amir mengungkap tiga cacat demokratis dalam proyek IKN.
Pertama, keputusan pemindahan ibu kota tidak pernah diusulkan dalam janji kampanye Jokowi.
“Ini berbeda dengan Brasil yang memang memasukkan pemindahan ibu kota dalam janji politiknya saat kampanye,” jelasnya.
Kedua, pembuatan undang-undang IKN yang dinilai terlalu terburu-buru dan tidak melibatkan masyarakat secara luas.
Proses legislasi ini menurutnya menunjukkan relasi kuasa yang digunakan untuk mempercepat pengesahan.
Ketiga, perencanaan pembangunan IKN dilakukan secara top-down dan tidak memiliki rencana teknokratis yang kuat.
Bahkan tim urban design yang awalnya terlibat dalam perencanaan IKN dikabarkan sudah keluar sehingga perencanaannya kini tidak jelas arahnya.
“Membangun kota bukanlah pekerjaan singkat. Ada yang butuh 5 tahun, 10 tahun, bahkan 50 tahun. Contohnya Washington DC, butuh waktu 100 tahun untuk menjadi seperti sekarang,” paparnya.
Prof Sulfikar memperingatkan bahwa IKN bisa menjadi “Super Hambalang”, proyek ambisius yang gagal dan menyisakan masalah besar.
“Saat ini, biaya perawatan bangunan yang belum selesai di IKN sudah mencapai Rp1,3 triliun per tahun. Ini angka yang fantastis untuk bangunan yang bahkan belum berfungsi,” ungkapnya.
Melansir laman bisnisbandung, ia juga mempertanyakan klaim pemerintah soal masuknya investor besar di IKN.
“Yang datang hanya investor untuk membangun perumahan dan mall, bukan infrastruktur urban yang dibutuhkan. Jadi, siapa yang mau tinggal di sana kalau infrastrukturnya belum siap?” tanyanya.
Dengan berbagai persoalan tersebut Prof Sulfikar Amir menegaskan pentingnya mempertimbangkan kembali kelayakan proyek IKN, terutama dari segi finansial, sosial, dan lingkungan.
Jika tidak proyek ini berisiko menjadi “mega korupsi” yang bahkan lebih besar dari kasus Hambalang. **