Fenomena Hakim MA, Analis Hukum Ini Nilai masih Banyak Wakil Tuhan Yang Miliki Hati Nurani

JAKARTA, Mediakarya – Analis hukum yang juga aktivis 98, Irwan Suhanto, menilai  proses penegakan di Indonesia belum mewakili rasa keadilan bagi masyarakat. Hal itu dikatakan Irwan menanggapi kasus hukum yang menimpa Zaka Pringga Arbi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Koperasi (sebelumnya Kemenkop UKM-red) yang memperjuangkan haknya atas pemberhentian dengan hormat oleh Ketua Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN).

“Kasus yang menimpa Zaka Pringga Arbi merupakan potret buram penegakan hukum di Indonesia. Dalam kasus Zaka, penegak hukum kami nilai lemah dan terkesan serampangan dalam menangani perkara kasus dugaan tindak pidana asusila yang menyeret rekan kerja Zaka yang mengakibatkan dirinya dijatuhi sanksi administrasi pemberhentian dengan hormat,” ungkap Irwan di Jakarta,Senin (7/7/2025).

Padahal, kata Irwan, kasus tindak pidana asusila sebagaimana putusan hakim Praperadilan Kota Bogor menganulir status tersangka Zaka dan empat rekan lainnya itu dapat dijadikan pertimbangan hakim dan sebagaimana  putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta yang memerintahkan agar Ketua BPASN mengaktifkan kembali nama Zaka Pringga Arbi sebagai ASN.

Dia menilai ada yang janggal dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) yang dalam putusan tersebut menguatkan putusan Ketua BPASN awal dan memberikan sanksi PDH.  “Putusan itu kontraproduktif dari Putusan Kasasi yang sebelumnya. Ini sangat ironis. Seorang anak bangsa yang tengah mencari keadilan di garda terakhir pencari keadilan namun hakim tidak mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat,” tuturnya.

Irwan menilai hakim Mahkamah Agung yang mengadili PK dan memutuskan perkara yang dimohonkan oleh Ketua PBASN itu tidak mempertimbangkan nilai-nilai keadilan. “Namun demikian, kami berharap pada PK kedua nanti ada hakim, yang kerap disebut wakil tuhan itu memiliki hati nurani sehingga memberikan putusan yang seadil-adilnya,” pungkasnya.

Hakim Tidak Jeli dan Tidak Mempertimbangkan Putusan Hukum Sebelumnya

Sementara itu, kuasa hukum Zaka Pringga Arbi, Nurseylla Indra S.H., M.M., mengaku terkejut dengan putusan PK. Yang mana dalam putusannya hakim mengabulkan gugatan Ketua BPASN untuk menguatkan Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 124 tahun 2022 tentang penjatuhan Hukuman Disiplin berupa Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Negeri Sipil atas nama Zaka Pringga Arbi,S.Ap.,NIP: 199504222019031005.

Padahal sebelum PK diajukan, Ketua BPASN telah menerbitkan Surat Keputusan yang terbit akibat kewajiban Ketua BPASN menjalankan Putusan Kasasi.

“Sungguh ironis perbuatan pejabat administrasi yang minim konsistensi perbuatan yang tidak memahami pentingnya menetapkan tindakan kepastian hukum dalam waktu berselang 30 hari sebelum pengajuan PK ke Mahkamah Agung, dan serta Surat Keputusan tersebut tidak dijadikan alat bukti baru (Novum).

Seylla juga menyayangkan bahwa dalam memori PK Ketua BPASN, dan serta Surat Keputusannya tidak dilaksanakan sebagaimana aturan hukum yang berlaku pada Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 tahun 2021 tentang Upaya Administrasi dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara.

“Di situ dinyatakan: Bahwa keputusan Ketua BPASN merupakan Keputusan yang bersifat konkret, individual dan final dan harus dilaksanakan oleh semua pihak instansi terkait,” tegasnya.

Menurut dia, Putusan PK yang mengalahkan kliennya itu dinilai sangat fenomenal dan tergolong langka. Padahal, terkait dengan kasus dugaan tindak pidana asusila yang dituduhkan kepada kliennya itu, sudah terbantahkan melalui sidang praperadilan tingkat pertama hingga praperadilan kedua dimenangkan oleh kliennya. Dan Zaka Pringga Arbi dinyatakan tidak bersalah.

Adapun penilaian hakim sebagaimana dalam petikan Putusan PK itu yang menyebut bahwa kesediaan Zaka Pringga Arbi untuk menikahi perempuan yang diduga sebagai korban tindak asusila itu agar menghindari jerat hukum, menurut dia, hal itu merupakan penilaian dan sekaligus putusan yang tidak berdasar.

“Di sini hakim terlihat tidak membaca rangkaian peristiwa hukum secara utuh. Justru dalam kaitan itu, klien kami menjadi korban daripada intervensi pihak kepolisian. Bahkan dalam kasus ini, Kanit PPA Polres Bogor Kota dikenakan sanksi demosi oleh Propam Polda Jabar. Karena terjadi pelanggaran prosedur.

“Jadi saya tegaskan, bukan klien kami yang menginginkan pernikahan itu, tapi klien kamilah yang mendapatkan arahan dari pihak Polres. Sekarang kita berpikir sajalah lah, mana mungkin Zaka saat itu masih perjaka dan single kemudian mau menikahi perempuan yang diduga korban asusila teman kerjanya,” tegas Seylla.

Sementara, terkait dengan adanya pertimbangan alasan kekhilafan Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara Putusan PK Nomor 3 PK/TUN/2025 tanggal 6 Mei 2025, bahwa dalam Putusan tersebut, Hakim yang mengadili PK menyebutkan alasan Ketua BPASN pada pokoknya dapat dibenarkan, karena Judex Juris pada Tingkat Kasasi dalam putusannya telah terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata di dalamnya.

“Alasan tersebut sangatlah bertolak belakang dengan hakim yang mengadili Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor Perkara 105/K/TUN/2024 tanggal 6 bulan Mei tahun 2025, yang mengadili Judex Juris atas dasar alat bukti Judex Factie di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta Nomor Perkara 17/G/2023/PT.TUN.JKT tanggal 31 Oktober 2023,” kata wanita berparas cantik ini.

Kendati demikian, Seylla mengaku optimis bahwa pada PK kedua nanti, kliennya akan mendapatkan keadilan yang hakiki sebagaimana diharapkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

“Kami selalu optimis, PK kedua segera kami ajukan, dan kami yakin masih banyak hakim di MK yang memiliki hati nurani, dan berpikir jernih dalam memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan di negeri ini,” pungkasnya.

Exit mobile version