Oleh: Agus Wahid
Memang fenomenal. Itulah kehadiran Gibran Rakabuming Raka (GRR) di blantika politik hingga menuju panggung kekuasaan. Dari Wali Kota Solo hingga menduduki kursi Wakil Presiden RI. Itulah fakta politik yang terukir. Baru kali ini terjadi dalam panggung sejarah nasional.
Namun, fakta itu mengguncang jagat raya politik dan hukum. Bagaimana tidak? Serangkaian prasyarat administratif kepemiluan ditabrak. Tidak hanya prosedur sebagai calon wakil presiden, tapi juga saat maju pilkada Solo, meski baru kali ini dipersoalkan. Persoalan ijazah SLTA GRR tidak jelas. Ketidakjelasan ijazah ini menjadi dipertanyakan di arena pilpres, meski titik beratnya pada putusan MK No. 90 yang memberi “karpet merah” GRR.
Kita saksikan bersama, banyak elemen terus menggugat agar GRR dibatalkan pelantikannya sebagai wakil presiden RI. Persoalannya pada kondisi cacat hukum kesertaan GRR dalam pilpres 14 April lalu.
Gerakan perlawanan anti GRR demikian massif dan ekstensif. Namun, landasan persoalan administrasi yang menghinggap pada diri GRR masih mengundang tanya hasilnya. Jalur hukum melalui PTUN masih belum clear. Kondisi ini masih memberi kemungkinan GRR tak bisa dijegal untuk dilantik, bersama Prabowo Subiyanto (PS) pada 20 Oktober mendatang.
PS pun tak bisa bergeming melihat gerakan massif dan ekstensif anti GRR. Namun, kini terkuak akun “Fufufafa”, yang menurut pakar telematika kenamaan seperti Roy Suryo meyakini 99,9%, akun tersebut milik GRR. Yang menggemparkan, jejak digital akun tersebut penuh nada kebencian dan pelecehan terhadap PS, sebagai pribadi, status keluarga, bahkan terhadap putranya.
Memang, narasi kebencian dan pelecehan itu jauh sebelum proses politik bersama PS. Tapi, inilah persoalan yang sama sekali tak terduga.
Kini, PS tahu persis konten akun yang sangat tidak bersahabat dengan PS. Meski, GRR menyanggah kepemilikan akun Fufufafa, tapi sanggahannya lebih bersifat verbal. Subyektif. Sangat mudah dikonfrontir alibinya.
Yang perlu dicatat lebih jauh adalah jika PS tidak mempersoalkan akun GRR tersebut, sama artinya PS membiarkan diri musuh dalam selimut. Bahkan, seperti merelakan diri siap diterkam oleh musuh yang terus mengintai.
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah PS yang telah menanti kekuasaan sejak 2004 atau selama 20 tahun ini akan merelakan kekuasaannya direbut oleh GRR.
Kita perlu catat, PS haruslah tergerak untuk mencermati validitas akun Fufufafa. Landasannya, pertama pencemaran nama baik yang sangat serius. Kedua, pengaruhnya berimbas pada potensi kinerja destruktif pemerintahannya dan itu menyangkut kepentingan bangsa dan negara ke depan. Karenanya, kebencian seorang GRR tidak bisa dilihat sebagai persoalan pribadi.
Dengan fakta jejak digital GRR yang tertuang dalam akun Fufufafa, maka secara politik PS haruslah mendorong kuat agar masalah akun itu diambil tindakan tegas secara hukum. Sebagai presiden terpilih,, PS memiliki pengaruh kuat kepada lembaga hukum (kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, bahkan Mahkamah Konstitusi).
Untuk memastikan posisi hukum GRR. Agar atas nama hukum GRR memang layak dibatalkan pelantikannya sebagai wakil presiden RI. Bahkan lebih dari itu: TIDAK layak bahkan haruslah dilarang menjadi Wakil Presiden RI.
Kini, kita merenung, beberapa waktu lalu, reaksi anti GRR karena problem hukum tergolong tak digubris. Bahkan, GRR senantiasa dilindungi. PS pun tampak berusaha melindunginya. Tapi, dengan fakta jejak digital itu, tak ada argumen politik dan hukum untuk terus melindungi GRR.
Akhirnya, kita perlu mencatat lebih jauh, inikah cara Tuhan membuka mata PS tentang GRR yang dulu diagung-agungkan itu. Sangat mungkin. Ketika pintu politik dan hukum tak berhasil menggoyang sang putra Mahkota Jokowi, tapi melalui jejak digital Fufufafa menjadikan celah yang sangat terbuka. Inilah skenario Allah yang harus disikapi dengan cerdas. Juga, perlu diambil tindakan pasti.
Persoalan tiadanya wakil presiden, bukan kali ini terjadi dalam sejarah di negeri ini. Tinggal menunggu mekanisme dan amar putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menetapkan pengganti GRR. Tentu atas usulan berbagai pihak yang on the track secara hukum dan konstitusi.
Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik