- Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid dari Provinsi Jawa Timur;
- Almarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto dari Provinsi Jawa Tengah;
- Almarhumah Marsinah dari Provinsi Jawa Timur;
- Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dari Provinsi Jawa Barat;
- Almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dari Provinsi Sumatera Barat;
- Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dari Provinsi Jawa Tengah;
- Almarhum Sultan Muhammad Salahuddin dari Provinsi Nusa Tenggara Barat;
- Almarhum Syaikhona Muhammad Kholil dari Provinsi Jawa Timur;
- Almarhum Tuan Rondahaim Saragih dari Provinsi Sumatra Utara; dan
- Almarhum Zainal Abidin Syah dari Provinsi Maluku Utara.
Kesepuluh nama ini, kata Haidar Alwi, bukan hanya pahlawan, melainkan representasi dari jiwa Indonesia yang majemuk namun satu.
“Ketika ulama, buruh, jenderal, presiden, dan sultan berada dalam satu barisan pahlawan, itu artinya kita sedang menyatukan bukan tubuh bangsa, tapi jiwanya,” tegas Haidar Alwi.
Rekonsiliasi Adalah Keberanian Baru
Rekonsiliasi sejarah bukan pekerjaan mudah. Butuh keberanian, bukan hanya dari pemimpin, tapi dari rakyat untuk melihat masa lalu tanpa kebencian. Haidar Alwi memuji langkah Presiden Prabowo yang menempatkan penghargaan ini sebagai jalan kebangsaan, bukan jalan politik.
Menurut Haidar Alwi, Prabowo Subianto memahami satu hal penting: bahwa bangsa tidak akan pernah tumbuh tanpa memaafkan sejarahnya sendiri.
“Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi mengubah luka menjadi pelajaran. Itu keberanian yang lebih besar daripada perang,” kata Haidar Alwi.
Dalam pandangan Haidar Alwi, kebijakan ini sejalan dengan semangat politik rekonsiliasi yang sudah ditunjukkan Prabowo sejak awal pemerintahannya: merangkul lawan politik, menempatkan oposisi dalam harmoni, dan menegakkan keberagaman sebagai kekuatan nasional.
Langkah ini bukan hanya diplomasi sejarah, tetapi terapi moral bangsa yang sudah terlalu lama terbelah.
Menyalakan Pahlawan di Dalam Diri Bangsa
Haidar Alwi mengingatkan, pahlawan sejati tidak menunggu pengakuan. Mereka berjuang karena cinta, bukan karena ingin dikenang. Karena itu, rakyat pun harus meneladani nilai dari sepuluh tokoh tersebut, bukan sekadar menghafal nama-namanya.
Haidar Alwi mencontohkan: belajar dari Gus Dur tentang toleransi, dari Marsinah tentang keberanian, dari Rahmah El Yunusiyyah tentang pendidikan, dari Mochtar Kusumaatmadja tentang diplomasi, dan dari Soeharto tentang keteguhan membangun bangsa.
“Setiap tokoh itu adalah cermin kecil dari perjuangan kita sendiri. Bangsa ini akan maju jika rakyatnya berhenti menjadi penonton sejarah, dan mulai menulis babnya sendiri,” jelas Haidar Alwi.
Bagi Haidar Alwi, generasi muda hari ini punya tanggung jawab untuk menjaga warisan moral para pahlawan.
“Jadilah pahlawan tanpa perang. Berjuanglah dengan ilmu, dengan empati, dan dengan tanggung jawab sosial. Karena pahlawan bukan yang gugur, tapi yang tetap hidup untuk menjaga kebenaran,” tegas Haidar Alwi.
Dalam momentum Hari Pahlawan 10 November 2025, keluarga besar Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute menyampaikan penghormatan kepada sepuluh tokoh penerima gelar pahlawan nasional, serta kepada seluruh putra bangsa yang telah berjuang tanpa tanda jasa.
“Kami menghaturkan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Presiden Prabowo Subianto atas keberanian moralnya menegakkan keseimbangan sejarah. Dan kepada seluruh pahlawan bangsa, yang diabadikan atau yang masih berjuang dalam senyap, semoga cahaya perjuangan kalian terus menerangi nurani bangsa.”
Bagi Haidar Alwi, kepahlawanan adalah kesadaran, bukan gelar. Ia lahir dari cinta kepada negeri dan keberanian untuk berbuat benar.
“Selama masih ada pemimpin yang berani jujur, rakyat yang mau bekerja, dan generasi muda yang mencintai bangsanya, Indonesia tidak akan pernah kehilangan pahlawan,” pungkas Haidar Alwi.
