- Regulasi nasional berhaluan nasionalis, menuntut olahan domestik
- Implementasi HS Code berhaluan liberal, memungkinkan ekspor utuh tanpa olahan nyata.
Akibatnya, negara kehilangan potensi nilai tambah ekonomi hingga triliunan rupiah per tahun, sementara industri pengolahan dalam negeri kekurangan bahan baku.
Perspektif audit dan pengawasan 10 tahun LHP BPK
Selama satu dekade terakhir, BPK telah berulang kali menemukan pola yang sama, yaitu:
1. PNBP perikanan tidak optimal. Banyak pungutan ekspor yang tak tertagih. Nilai ekspor yang tercatat tak sesuai dengan nilai riil barang. Rekomendasi BPK adalah “KKP dan Bea Cukai harus menyinergikan data dan memperbaiki klasifikasi produk ekspor.”
2. Sistem elektronik antar kementerian tidak terintegrasi. Temuan LHP atas LKPP dan laporan KKP menunjukkan lemahnya koneksi antara INSW (Indonesia National Single Window) Bea Cukai dengan sistem SIKPI/SIPI milik KKP. Akibatnya, satu data PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) bisa lolos walau tak sinkron dengan izin tangkap.
3. Pengawasan pelabuhan lemah, di dalam audit pelabuhan Tanjung Perak, Benoa, dan Bitung, BPK mencatat keterbatasan SDM pemeriksa, tidak adanya CCTV terintegrasi, dan minimnya pemeriksaan fisik. Dan barang keluar tanpa diverifikasi bentuk fisiknya.
4. Preseden skandal ekspor benih Lobster, itu kasus benih lobster yang membuktikan bagaimana “izin ekspor” bisa menembus larangan dengan alasan teknis. Polanya identik dengan ekspor whole round tuna, yakni regulasi formal, tetapi praktiknya menabrak hukum substantif.
Temuan kunci analisis IAW
1. Diskoneksi antara kebijakan dan pelaksanaan, dimana kebijakan nasional melarang ekspor ikan utuh, tapi sistem Bea Cukai tidak mendukung pelaksanaan larangan itu.
2. HS Code 03034300 sebagai “kode serba guna.”
Kode tunggal ini telah menjadi “pintu belakang” yang melegalkan penyelundupan dalam format administratif.
3. Kegagalan koordinasi lintas lembaga, karena data ekspor KKP, Karantina, dan Bea Cukai tidak saling mengunci, malah membuka ruang bagi misdeclaration massal.
4. Kerugian negara multidimensi, tidak hanya kehilangan PNBP dan pajak, tetapi juga hilangnya nilai tambah industri domestik serta potensi kerja puluhan ribu orang di pabrik pengolahan.
Rekomendasi analitis IAW berbasis temuan BPK
1. Langkah operasional, jangka pendek.
Untuk Bea Cukai, lakukan 100% physical check terhadap seluruh ekspor dengan HS Code 03034300. Pemeriksaan harus melibatkan BKIPM dan KKP.
KKP, lakukan verifikasi izin ekspor dan pastikan semua perusahaan yang mengekspor dengan kode itu benar-benar punya fasilitas pengolahan aktif.
2. Langkah sistemik, jangka menengah dengan mevisi BTBMI, pisahkan HS Code menjadi sub-pos:
– 03034301 = Tuna Whole Round
– 03034302 = Tuna Loin
– 03034303 = Tuna Flake
– 03034304 = Tuna Meal
Agar kebijakan industri dan kepabeanan saling mendukung. Integrasi sistem elektronik dengan menghubungkan PEB Bea Cukai langsung dengan SIKPI KKP agar setiap data ekspor diverifikasi otomatis.
3. Langkah strategis, jangka panjang:
Audit tematik BPK, dengan melakukan audit khusus bertajuk “Efektivitas Pengawasan Ekspor Hasil Perikanan dalam Rangka Peningkatan PNBP dan Nilai Tambah.”
Audit ini harus mencakup 5–20 tahun data ekspor dan melibatkan pelabuhan utama. Terlebih kita memahami pemisahkan HS Code menjadi sub-pos agar potensi kerugian negara tidak berulang terjadi seperti kerap dilakukan agar tidak disebut sebagai unsur kesengajaan sistemik.
Pembentukan Satgas lintas Kementerian, bertugas mengawasi komoditas strategis (ikan, lobster, rumput laut, dll.) dengan sistem data real-time lintas lembaga. Juga untuk memisahkan HS Code menjadi sub-sub pos sehingga menjadi semakin tegas!
Kesimpulan analitis Indonesian Audit Watch
IAW menyimpulkan, masalah ekspor tuna utuh bukan lagi soal moralitas pelaku usaha, tetapi soal kegagalan sistemik negara dalam menutup celah hukum teknis.
Negara punya aturan, tapi tidak punya mesin pengawasan yang selaras antar instansi. Akibatnya, dalam satu pelabuhan saja seperti Tanjung Perak, potensi kerugian negara bisa menembus Rp2 sampai 5 triliun per tahun, bahkan lebih bila dihitung secara nasional. Ini harus segera dibongkar oleh instrumen hukum negara. Tidak sulit untuk menyidik hal tersebut, seminimalnya mudah terdeteksi dari aliran kas/afiliasi korporasi, sebab angkanya sangat fantastis, seminimalnya 100 triliun telah dinikmati oleh korporasi hitam. Termasuk didalamnya persoalan eksploitasi manusia!
Jika BPK, Bea Cukai, KKP serta aparat hukum menindaklanjuti rekomendasi ini secara bersama, maka untuk pertama kalinya Indonesia bisa benar-benar menjaga nilai tambah lautnya. Jadi, bukan sekadar menonton tuna utuh keluar dari pelabuhan dengan dokumen yang sah di atas kertas.
Negara tidak boleh kalah hanya karena oknum pemangku kepentingan menunggangi kewenangan yang diamanatkan kepadanya!




