Lalu, mengapa GP dipaksakan? Dengan potret kepemimpinan GP yang jauh di bawah kapasitas, maka Indonesia ke depan akan semakin mulus untuk dikuasai atau disetir oleh kekuatan elemen lain. Data faktual keberhasilan penyetiran rezim now dijadikan pendulum yang mengharuskan potret pemimpin Indonesia ke depan yang juga tunduk pada kemauan para penyetir.
Siapakah para penyetir itu? Dengan mudah publik membaca para aktor yang selama ini cukup agresif menunjukkan kepentingannya di atas kedaulatan negeri ini. Siapa lagi kalau bukan kalangan oligarkis. Hanya dari komponen dalam negeri? No. Mereka berkomplot dengan aseng yang selama ini menurut data di lapangan berasal dari negeri leluhur para oligarkis: China. Dengan demikian, GP sejatinya merupakan pilihan para oligarkis dan kaum aseng China. GP dinilai akan setia pada kemauan para oligarkis dan kompradornya. Dalam jangka pendek, GP jika berhasil ke istana akan dipaksa untuk mewujudkan ambisi mendirikan ibukota baru Nusantara di Penajam Utara, Kalimantan Timur itu, di samping ekspoitase sumberdaya alam di berbgai belahan Nusantara ini yang kini tengah berlangsung.
Dalam kerangka ambisi pencaplokan NKRI itulah, maka GP yang secara faktual gagal memimpin Jawa Tengah dibangun citranya sedemikian rupa. Dalam hal ini sejumlah lembaga survey di Tanah Air ini digerakkan untuk mengubah persepsi publik: menjadi sosok pemimpin selalu paling tinggi elektabilitasnya. Target pertamanya, agar para pemimpin partai percaya pada gerakan lembaga-lembaga survey, meski penuh indikasi manipulatif. Setidaknya, lembaga survey by order itu melakukan strategi pemilihan responden secara selected dan telah dikondisikan sebelumnya. Ada langkah intervensi untuk membidik responden, sehingga outputnya sejalan dengan desain pengorder survey.
Kecurigaan permainan sejumlah lembaga survey itu layak kita lontarkan. Sebab, secara komparatif, Google melakukan peta kecenderungan calon presiden Indonesia 2024. Hasilnya, hanya 20% masyarakat Indonesia dan itu pun hanya di Jawa Tengah dan NTT yang menyukai dan memilih GP. Keterwakilannya berdasarkan wilayah sangat rendah. Jadi, sungguh paradoks dengan hasil sejumlah lembaga-lembaga survei itu. Yang perlu kita garis-bawahi, data Google berbasis IP, persebarannya menasional dan populasi respondennya juga jutaan orang, tidak bisa diintervensi ataupun dikooptasi. Karenanya, data Google jauh lebih valid, netral dan obyektif. Lebih trusted
Data komparatif Google mempertegas kejahatan lembaga-lembaga survey yang layak dikejar secara pidana karena tindakannya merusak bahkan secara tak langsung ikut menghacurkan tatanan berbangsa-bernegara. Namun, ketiadaan ketentuan pidana untuk lembaga-lembaga survey nakal membuat mereka tetap melakukan kejahatannya secara sistimatis, massif dan terencana dengan cara-cara mamanipulasi data tanpa merasa berdosa. Kebetulan, usernya justru menikmati. Apapun judulnya, kejahatan manipulatif sejumlah lembaga survey membuat sebagian elitis partai politik (parpol) percaya dan memberikan sinyal positif saat ini kepada GP: memberikan kendaraan menuju istana.