Tragedi Pati: Urgensi Kaji Ulang Sistem Pajak Berkemanusiaan

Pagar pendopo Kantor Bupati Pati nyaris roboh akibat didorong pendemo. (foto: Ist)

Oleh Agus Wahid

Tidak bisa dipandang sebelah mata. Itulah tragedi Pati yang menelan banyak korban luka-luka serius akibat melawan secara frontal terhadap kebijakan kenaikan PBB Pedesaan dan Perkotaan sebesar 250%. Seperti kita saksikan bersama, buntut dari penerapan pajak telah mendorong reaksi distrust masyarakat Pati dan berujung pada upaya pemakzulan yang diproses melalui DPRD Kabupaten Pati. Presiden pun memberikan perhatian khusus.

Atas nama peduli rakyat, sinyal kuat mengarah pada restu proses pelengseran kader Gerindra itu. Bahkan, Presiden pun tampaknya membaca dampak lebih jauh. Jika persoalan Pati dibiarkan tanpa solusi pro kepentingan rakyat, maka dampaknya akan bergulir ke sejumlah daerah. Dan ini menjadi ancaman destabiltitas nasional. Ancaman ini bisa disusupi kekuatan tertentu dengan mengambil peran politik destruktif. Menjadi “pemain” dengan menggunting dalam lipatan.

Karenanya, kita dapat memahami Istana langsung merespon: segera mengambil tindakan politik yang diperlukan. Bupati Pati sebagai kader Gerindra langsung mendapat telepon khusus dari Sekjen Gerindra, Sugiono: menciptakan kondisi aman-terkendali bagi kepentingan nasional yang kini dalam kendali Prabowo.

Kita bisa pahami peredaman Pusat terhadap gelombang aksi di tengah Pati yang berpotensi meluas itu. Namun, di balik dampak kontigion itu, kita perlu menelaah lebih jauh, apakah besaran kenaikan prosentasi PBB P2 itu murni inisiatif dan kenekatan Bupati Pati itu? Sebegitu beranikah Sudewo sebagai kepala daerah menaikkan pajak yang tergolong tinggi itu?

Jika kita telusuri, langkah yang dilakukan Bupati Pati ternyata juga dilakukan di sejumlah daerah, meski variatif kenaikan prosentasinya. Di daerah lain seperti Cirebon jauh lebih tinggi: mencapai 1000%. PBB Jombang naik juga: menjadi 1.200%. Tapi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat justru 0% untuk PBB. Dan jika kita tengok agak ke belakang, ketika Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI Jakarta, PBB yang ber-NJOP di bawah Rp 2 milyar juga dibebaskan pajaknya. Bahkan, PBB dari unsur guru dan veteran juga dibebaskan dari beban pajak.

Dari penelusuran itu, dapat disimpulkan secara simplistis: sebenarnya, kebijakan kenaikan pajak di berbagai daerah saat ini merupakan penerjemahan kebijakan Pusat yang memang memberikan kelonggaran prosentasi kenaikan pajaknya. Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, daerah ditarget pendapatan pajaknya. Pelonggaran dan penargetan inilah yang membuat banyak daerah demikian berani dan kebablasan dalam mematok besaran prosentasenya. Para kepala daerah merasa mendapat lampu hijau bahkan perlindungan Pusat untuk menggencet pajak rakyat.

Sebenarnya, apa yang mendorong Pusat mendesak peningkatan penerimaan pajak, setidaknya sampai akhir 2025 ini? Lagi-lagi, kita harus menengok ke belakang (rezim kemarin). Prabowo  bagaimanapun pahitnya harus menerima realitas peninggalan utang luar negeri (ULN) yang diwariskan Jokowi yang korup itu. Posisi ULN pada triwulan IV 2024 kemarin masih sebesar Rp 6.951,49 triliun. Dan pada akhir 2025 ini harus membayar bunganya Rp 552,1 (16% dari outlook belanja negara). Opo ga klenger bro?

Yang menjadi persoalan serius, di tengah kondisi ekonomi yang pertumbuhannya pada triwulan pertama 2025 hanya 4,87% jelaslah masih sulit untuk mendrive perekonomian rakyat. Inilah yang gagal dibaca oleh sebagian besar kepala daerah. Ketika dipaksa harus memenuhi target pajak seperti yang diinginkan Pusat, justru menjadi bumerang. Dan masyarakat Pati sebagai salah satu komponen masyarakat nasional sudah membuktikan perlawanan itu.

Jika kita flash-back jauh ke belakang semasa kolonial Belanda, bangkitnya sejumlah “pahlawan” nasional lainnya dalam melawan penjajah di antaranya karena sistem upeti yang terus memberatkan. Dalam berbagai literasi yang sering diangkat ke layar kaca, penjajah – dengan menggunakan para anteknya – mengangkut hasil pertanian, peternakan atau apapun yang dimiliki masyarakat. Kelakuan penjajah menjadi dorongan “jihad”: melawan kompeni.

Lalu, apakah pemerintah kita sebagai pemerintah daerah ataupun Pusat – mau dicap atau diperpersamakan sebagai kompeni? Tentu tidak. Karena itu, tak selayaknya rakyat diperas, meski dengan dalih pajak. Memang, jika tak ada pemaksaan akan terjadi kontraksi pendapatan pajak. Sementara  atas nama keberlanjutan pembangunan negara wajib disupport rakyat, di antaranya melalui instrumen pajak.

Tentu, kita sepakat tentang peran dan makna pajak bagi negara. Meski demikian, negara pun perlu “ngaca diri” bagaimana kondisi ekonomi rakyat. Dalam hal ini negara juga harus cerdas: sektor mana yang potensial untu dikenakan pajak, baik dari sisi akumulasi pendapatan, juga kecil resistensi (tidak menggerakkan perlawanan), minimal tidak mengakibatkan rakyat sengsara.

Tak bisa dipungkiri, sektor bumi dan pembangunan dengan jumlah penduduk di atas 275 juta memang potensial. Tapi, bagaimana dengan sektor pajak pertambangan, migas, kehutanan, perkebunan, kelautan, dunia ekspor dan sektor-sektor yang jauh lebih fantastik nilai pajaknya? Salah satu mantan Menko Politik dan Keamanan pernah menyampaikan, jika seluruh kekayaan negara dari sumber daya alam dan mineral dikelola dengan baik dan amanah, maka setiap individu warga negara Indonesia akan menerima kisaran Rp 20 juta. Tingkat keamanahan pengelolaan itu sangat memungkinkan untuk mencapai pendapatan pajak yang diharapkan negara.

Maka, pertanyaan besarnya, bagaimana tata-kelola pada seluruh sumber daya alam dan mineral, di samping seluruh kekayaan negara lainnya? Di sana – tak bisa dipungkiri – ada problem tata-kelola yang tidak amanah dan sangat serius. Sebagian memang dikorupsi secara fantastik. Ada juga, penggarongan aset negara dengan melibatkan banyak komponen bandit berbaju dinas, mulai dari instansi tertinggi istana (seperti yang dilakukan rezim kemarin), lembaga terhormat (legislatif) dan komponen penegak hukum dan yudikatif.

Membaca topografi sosiologis itu, maka hal mendasar yang harus dibenahi dari sektor pajak adalah pembenahan mental dan moralitas pemangku kekuasaan, mulai dari perumus legislasi, pelaksana (eksekutif) dan lembaga penegak hukum. Dan pembenahan itu berlaku di tingkat Pusat hingga terbawah.

Sementara, di lembaga perpajakan itu sendiri juga harus dibenahi secara ketat. Seperti kita tahu, Direktorat Pajak sangat renta dengan penyalahgunaan. Bisa dalam bentuk korupsi dari penerimaan pajak itu sendiri. Bisa juga dalam bentuk permainan petugas pajak dengan pembayar wajib pajak.

Sekedar ilustrasi faktual yang pernah mengagetkan, Gayus Tambunan, seorang mantan PNS di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, pegawai golongan III A (2001 – 2010). Lulusan STAN (1997 – 2000) ini menyimpan uang di banknya sebesar Rp 60 miliar plus perhiasan senilai Rp 14 milar atas nama istrinya (Milana Angraini). Di mata Susno Duadji selaku Kabareskrim POLRI saat itu, kekayaan Gayus tidak wajar. Dan karenanya diselidik. Dan terbukti menyalagunakan kewenangannya untuk memperkaya diri.

Di Direktorat Pajak tidaklah sedikit prototip PNS seperti Gayus Tambunan. Irama permainan pajak tersebut (tahu sama tahu) jelaslah mengakibatkan kontraksi pendapatan pajak yang sangat serius. Pendapatan pajak menguap. Dan tidak kecil. Sementara, rakyat yang buta pajak dan tidak mau bekerjasama dengan aparat pajak justru digencet. Sebuah informasi yang mengejutkan, seorang buruh penjahit di Pekalongan ditagih pajak transaksinya sebesar Rp 2,8 miliar.

Kondisi makro dan makro seputar perpajakan itu wajib dibenahi secara mendasar dengan penuh integritas. Beberapa pendekatan, di antaranya – pertama – sebuah urgensi membangun paradigma perpajakan yang berkemanusiaan. Pajak memang menjadi salah satu instrumen keuangan negara untuk pembangunan. Tapi, harus dijauhkan dari paradigma pemerasan terhadap rakyat.

Kedua, Paradigma itu harus dijabarkan dengan formulasi yang viseable dan rasional, menjauhkan diri dari sikap aji mumpung (carpedium). Arahnya, menentukan prosentasi pajak yang berkemanusiaan. Ketiga, mendahulukan obyek pajak yang lebih prinsipil dan kurang dari resistensi publik. Makna mendasarnya, pajak tidak memberatkan ekonomi rakyat.

Keempat, penegakan hukum yang kuat terhadap penyalahguna pajak. Kelima, edukasi perpajakan terhadap masyarakat agar terjauh dari malpraktik kebijakan, dari anasir petugas pajak ataupun instansi pemerintah selaku pemegang otoritas wilayah seperti Pemda ataupun Pemprov. Dan keenam, forum dialog perpajakan yang mampu membangun kesepahaman.

Penulis: Analis Politik dari UI Watch Plus

Exit mobile version