Oleh Agus Wahid
Beberapa tahun lalu, pernah tayang sebuah film fiksi ilmiah yang cukup terkenal, dibintangi aktor berbakat: John Travolta. Aktor yang pernah menghebohkan jagad raya melalui film Saturday Night Fevor pada pertengahan tahun 1970-an ini berperan sebagai agen FBI. Judulnya “Face off” (menukar wajah) penjahat super: Cage. Penukaran wajah ini dirancang sebagai upaya menggagalkan rencana bom yang siap menghancurkan belahan dunia, terutama Eropa dan Asia. Sungguh menegangkan film yang berdurasi sekitar 90 menit itu.
Kata “face off” sungguh menarik untuk kita refleksikan pada diri Jokowi. Korelasinya? Beberapa waktu lalu viral di media sosial. Mengutip pernyataan Tom Lembong, media sosial (medsos) itu menulis, “Jokowi telah mati pada 2023”. Lalu, siapa sesungguhnya Jokowi sekarang?
Informasi medsos itu pun akhirnya berkembang. Berusaha memvalidasi. Di antara, ketika Jokowi asli bersanding dengan Iriana, posisi ujung rambut kepala Iriana sebaris dengan telinga bagian bawah Jokowi. Sisi lain, tertangkap kamera, ketika turun dari pesawat seusai kunjungan ke daerah, Iriana menolak digandeng Jokowi. Dan, seusai pulang dari vatikan atas kewafatan Paus Fransiscus Domus Sanctae Marthae, wajah Jokowi tampak lebam. Beda jauh dengan wajahnya dibanding sebelum berangkat ke Vatikan.
Pertanyaannya, apakah tiga indikator itu cukup untuk menegaskan Jokowi berganti wajah (faca off) dan itu berarti dia telah meninggal? Rasanya masih belum meyakinkan. Jika Jokowi sudah meninggal secara fitrah, keluarganya (istri, anak-anaknya dan cucu-cucunya) pasti berduka mendalam. Bahkan, para Jokower “maniak”, bukan mania, akan begitu heboh. Gusar. Meraung-raung karena hilang sandaran kepentingan politiknya. Juga, sosok Jokowi yang diagungkan setidaknya oleh para pendukungnya pasti akan diusung ke arena liang lahatnya dengan jumlah, boleh jadi, ribuan orang.
Semua gambaran itu sama sekali tak tampak. Maka, dengan pendekatan analisis positivistik, Jokowi sesungguhnya masih hidup. Tidak berganti wajah (face off). Namun demikian, gambaran fisik Jokowi juga menunjukkan sejumlah keanehan. Minimal, berbeda dari kebiasaannya. Biasanya tampil rambut yang klimis, kini berubah menjadi rambut yang jauh lebih tipis. Tergolong dominan botak. Juga, lebih sering bertopi songkok. Kemeja putih yang biasa dililit lengannya juga tidak lagi tampak. Juga jika kita cermati tahi lalat di pipinya kini tampak lebih besar. Posisi gak jauh dari hidung, padahal sebelumnya lebih dekat ke telingan.
Dari analisis fisik tersebut, maka publik kian menduga-duga minimal curiga bahwa Jokowi memang telah menghadap dua malaikat (Munkar dan Nakir). Boleh jadi benar meninggal pada 2023 itu. Dan sosoknya digantikan orang lain dengan melakukan operasi plastik pada sisi wajah dan rambutnya. Karena itu tidaklah mengherankan jika publik berpendapat telah terjadi “face off” pada sosok pengganti Jokowi asli.
Dan untuk menyempurnakan misi utamanya, terhembuslah opini bahwa Jokowi dicloning. Dalam perspektif biologi, cloning bukan hanya menciptakan keserupaan fisik secara keseluruhan. Tapi, terjadi operasi organisme atau sel yang secara genetik identik dengan organisme induknya.
Sekali lagi, perlu kita cermati dugaan face off ataupun cloning. Jika benar dugaan atau asumsinya, maka kita perlu mempertanyakan motif besar di balik Tindakan face off dan cloning itu.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga hal krusial yang harus kita garis-bawahi. Pertama, langkah face off ataupun cloning menggambarkan adanya kekuatan besar dari elemen pendukung utamanya yang tak mau teramputasi atau tersingkir kepentingan strategis ekonominya bahkan geopolitiknya di dalam negeri ini.
Kepentingan strategis itu pula yang membuat jasad Jokowi dipertahankan seolah masih hidup. Kepergiannya dirahasiakan sedemikian rupa, termasuk keluarga batihnya (istri, anak-anak dan kedua menantunya). Gibran sebagai “bemper” trah Jokowi harus dipertahankan. Sebagai pengaruh dalam lingkaran kekuasaan.
Kedua dan hal ini jauh lebih krusial, keberadaan Jokowi saat ini dirancang agar tidak tersentuh oleh kejaran hukum yang sudah menantinya. Kita saksikan bersama, sampai detik ini sosok Jokowi tak tersentuh oleh hukum, meski geng Solo sudah dilakukan bersih-bersih. Dan ketidaktersetuhan hukum ini bermakna menyelamatkan Jokowi sekeluarga, bahkan para kroninya yang selama ini sanjung puja. Setidaknya, sepanjang menempel ketat pada diri Jokowi, para kroni itu tergolong masih aman dari kejaran hukum.
Dan ketiga, jika Jokowi masih hidup, maka face off ataupun cloning itu sejatinya membuat Jokowi pribadi itu sendiri hidup dalam suasana aman. Jauh dari dentuman informasi yang membisingkan setiap detik. Yang dikejar adalah sosok “stand in” (peran pengganti). Sementara, Jokowi itu sendiri bersantai ria, menikmati teh hangatnya setiap pagi dan sore, sembari menghirup udara segarnya.
Jika dugaan atau asumsi face off dan cloning itu benar, maka kita harus mencatat, “luar biasa pemikiran pergantian wajah dan pengubahan perilaku bahkan karakter itu. Sungguh strategi yang sempurna”. Namun, sehebat-habat skenario, pada akhirnya akan terkuak. Karena, hanya Allah sebaik-baik skenario. Kejahatan akan terkuak. Kebenaran pada akhirnya akan hadir pada masanya. Let`s see the fact.
Penulis: analis politik dan kebijakan publik