Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Pandemi, anak sekolah, dan meja rapat korporasi
Pandemi Covid-19 memaksa jutaan anak Indonesia belajar dari rumah. Guru gagap teknologi, orang tua kebingungan, negara tergesa-gesa. Dalam keadaan darurat seperti itu, pendidikan seharusnya diperlakukan sebagai urusan kemanusiaan, bukan peluang bisnis.
Namun proyek pengadaan Chromebook yang dirancang senilai Rp17,42 triliun justru menunjukkan arah sebaliknya, yakni ketika sekolah dijadikan pasar, kebijakan dijadikan pintu masuk, dan anak-anak dijadikan justifikasi. Ini bukan peristiwa tunggal.
Ini adalah puncak dari peringatan BPK yang berulang selama satu dekade, dan terus diabaikan. Sepuluh tahun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan bahwa digitalisasi pendidikan selalu bocor di hulu. Sejak sekitar 2014, BPK secara konsisten mencatat pola yang sama dalam proyek-proyek TIK pendidikan dan digitalisasi layanan publik, yaitu:
- Perencanaan tidak berbasis kebutuhan nyata.
- Spesifikasi dikunci pada merek atau platform tertentu.
- Biaya layanan dan lisensi tidak transparan.
- Aset menganggur, tidak termanfaatkan, atau rusak dini.
5. Pengawasan lemah dan evaluasi manfaat tidak pernah serius.
Temuan serupa muncul dalam pengadaan TIK Kemendikbud diberbagai tahun anggaran, yakni:
