Kenapa Harga Beras Tidak Juga Turun?

Pekerja pelabuhan saat menurunkan beras impor. (Ist)

Oleh:  Khudori

WARGA di sejumlah daerah mengeluh. Mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras. Keluhan warga terhadap harga beras tinggi, bahkan naik, sudah terekam cukup lama. Di saat pendapatan seret, kenaikan harga beras membuat warga, terutama yang miskin dan rentan, harus merealokasi pengeluaran keluarga. Pangan inferior, termasuk beras diluar kualitas, dibeli dan dikonsumsi.

Untuk mendinginkan suasana, pemerintah yang diwakili otoritas berwenang membantah kenaikan harga beras yang masih terus berlanjut. Menteri Perdagangan Budi Santoso mengklaim harga beras mulai turun, termasuk di retail modern, seiring intensnya pengawasan. Ia juga menjelaskan operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang gencar dilakukan. Ihwal beras mahal ia menunjuk soal distribusi.

Klaim harga beras turun tidak sesuai kenyataan. Merujuk data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan kedua Agustus 2025 harga rerata nasional beras medium dan premium di zona 1 masing-masing Rp14.012/kg dan Rp 15.435/kg. Harga itu lebih tinggi dibandingkan harga pada Juli 2025: Rp13.853/kg untuk beras medium dan Rp15.310/kg untuk beras premium. Keduanya melampaui harga eceran tertinggi (HET).

Di zona 2 dan 3 situasinya sami mawon (sama saja). Harga rerata nasional beras medium dan premium di zona 2 pada pekan kedua Agustus 2025 masing-masing Rp14.875/kg dan Rp16.625/kg. Harga itu lebih tinggi dibandingkan harga Juli 2025: Rp14.666/kg untuk beras medium dan Rp16.458/kg untuk beras premium. Keduanya juga melampaui HET di zona 2. Apa maknanya? Harga beras terus naik. Lalu, kenapa ini terjadi?

Pertama, operasi pasar SPHP belum efektif. Sejak disalurkan kembali mulai 14 Juli lalu, BULOG baru mengalirkan 226.005 ton beras SPHP. Itu hitungan sampai 19 Agustus 2025. Dari 226.005 ton itu 181.192 ton diantaranya tersalur pada Januari hingga pekan pertama Februari 2025. Itu berarti dari 14 Juli-19 Agustus 2025 tersalur 44.813 ton atau rerata 1.211 ton per hari. Jumlah ini terlalu kecil. Tidak nendang.

Ketika harga beras di pasar terus naik itu berarti pasar “lapar” beras. Boleh saja ada yang berspekulasi kenaikan beras terjadi karena ulah spekulan mengeruk untung di tengah penderitaan konsumen. Akan tetapi, di saat Satgas Pangan intens jadi polisi ekonomi, memeriksa gudang pedagang dan penggilingan padi serta masuk pasar, aksi spekulasi tak ubahnya bunuh diri. Bukankah saat ini pedagang dan penggilingan diselimuti ketakutan sehingga memilih berhenti beroperasi ketimbang berperkara?

Ketika aliran beras ke pasar dari pedagang dan penggilingan terbatas, seharusnya ini bisa digantikan oleh operasi pasar SPHP BULOG. Masalahnya, operasi pasar bukan saja terlambat tetapi juga tidak mengalir deras. Ini terjadi, seperti ulasan pada 27 Juli 2025 berjudul “Penyaluran Beras BULOG: Kalau Bisa Dipersulit Mengapa Dipermudah”, lantaran skema penyaluran SPHP tahun ini diperketat. Agar tidak diselewengkan.

Kedua, BULOG masih menyerap gabah/beras produksi petani. Penyerapan gabah/beras harian memang melambat. Namun, kala BULOG masih terus masuk ke pasar hal itu membuat perebutan gabah berlangsung sengit. Bermitra dengan penggilingan padi melalui skema maklun hampir dipastikan mitra BULOG selalu menang. Meskipun harga gabah tinggi, mencapai Rp8.000/kg, lewat “otak-atik” rendemen penyerapan tetap bisa dilakukan.

Dalam konteks stabilisasi harga di tingkat produsen, secara teori BULOG adalah pembeli terakhir (buyer the last resort). Kalau harga gabah di atas harga pembelian pemerintah (HPP) berarti pasar telah bekerja dengan baik. Semua gabah terserap dan petani terlindungi dari kerugian. BULOG tidak perlu masuk ke pasar. Kalau BULOG tetap berburu gabah di pasar harga akan naik. Situasi akan runyam. Kalau harga jatuh di bawah HPP, saat ini ditetapkan Rp6.500/kg gabah, BULOG masuk jadi penyelamat.

Ketiga, surplus produksi menurun. Ini terkait pola produksi padi yang musiman. Seperti pola puluhan tahun lalu, produksi di musim gadu (Juni-September) mulai menurun. Produksi lebih rendah dari musim panen raya (Februari-Mei). Surplus produksi turun. Merujuk Kerangka Sampel Area BPS amatan Juni 2025, surplus beras Juli, Agustus, dan September ditaksir masing-masing 0,22 juta ton, 0,48 juta ton, dan 0,56 juta ton. Surplus ini lebih rendah dari Maret (2,64 juta ton) dan April (2,64 juta ton). Ketika suprlus mengecil persaingan membeli gabah akan sengit.

Ujung dari tiga kondisi di atas, harga gabah di pasar akan tetap tinggi. Ketika harga gabah tinggi, harga beras juga akan tetap tinggi. Tiga penyebab ini saling terkait dan saling memperkuat. Agar salah urus ini tidak semakin berlarut-larut dan harga beras tidak terus merongrong dompet warga, setidaknya perlu tiga langkah.

Pertama, relaksasi skema penyaluran SPHP. Relaksasi bukan berarti melonggarkan pengawasan. Justru relaksasi harus dibarengi pengawasan yang ketat. Kalau masih ada penyeleweng harus ditindak tegas. Agar ada efek jera. Lazimnya operasi pasar adalah mengguyur beras untuk pasar (baca: pedagang di pasar). Sasaran operasi pasar adalah pasar, bukan konsumen akhir. Indikatornya harga beras di pasar. Jejaring penyalur SPHP saat ini belum memungkinkan aliran beras berjumlah besar dan menyebar luas.

Kedua, menghentikan penyerapan BULOG melalui skema maklun. Dalam konteks ini rencana menambah target penyerapan beras BULOG sebesar 1 juta ton harus dibatalkan. Rencana ini dipastikan membuat salah urus semakin tidak terurus. Dengan stok beras di gudang BULOG saat ini mencapai 4 juta ton justru fokus harus dialihkan ke penyaluran.

Mengapa? Agar stok yang besar terhindar dari risiko susut volume, turun mutu, dan bahkan rusak. Jangan lupa, beras di gudang BULOG itu ada yang usianya lebih setahun. Beras itu potensial berbau apek. Penyaluran segera dalam jumlah besar juga untuk mengurangi beban pengelolaan di gudang. Per Mei 2025, dalam neraca keuangan BULOG merugi Rp4,3 triliun. Lalu, fokus penyaluran itu dimaksudkan untuk menjenuhi pasar agar harga beras di pasar turun, setidaknya tertahan agar tidak naik.

Ketiga, seperti saran sebelumnya, pemerintah harus menarik Satgas Pangan dari fungsi polisi ekonomi. Dalam catatan sejarah, pendekatan keamanan seperti ini sudah dilakukan sejak 1950-an dan tidak berhasil. Pendekatan ini telah menempatkan pelaku usaha sebagai ‘musuh negara’ dan amat terbuka mereka diperlakukan seperti penjual barang ilegal. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian berusaha.

Selain itu, pendekatan keamanan berpeluang memunculkan sinyal palsu. Misal, harga beras turun. Penurunan harga terjadi bukan karena mekanisme pasar yang normal, tetapi lantaran ada “pemaksaan” dan ketakutan. Kalau sinyal palsu ini dijadikan dasar membuat kebijakan, kebijakannya bisa salah arah. Karena itu, sebaiknya Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional berada di depan. Kalau ada temuan kecurangan, baru penegak hukum bergerak.

Tiga langkah itu harus dibarengi kebijakan penyesuaian HET beras. Hemat saya, kisruh perberasan saat ini salah satu akarnya adalah HET beras yang menghimpit pelaku di hilir: pedagang dan penggilingan. Terjadi ketidakseimbangan insentif antara pelaku di hulu dan hilir. Gabah adalah bahan baku beras. Ketika HPP gabah dinaikkan menjadi Rp6.500/kg tidak masuk akal HET beras, medium dan premium, tidak disesuaikan.

Exit mobile version