Komite Reformasi Polri Berpotensi Terjebak Fenomena Paralysis by Analysis

Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi. (Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, R.Haidar Alwi menilai Komite Reformasi Polri menghadapi risiko serius terjebak pada fenomena “paralysis by analysis”. Yakni, dimana suatu kondisi ketika terlalu banyak masukan yang diterima justru menghambat kemampuan menghasilkan keputusan yang efektif.

Permasalahan ini mengemuka setelah  tiga pekan tim bentukan Istana itu mengaku telah menerima puluhan ribu masukan dari berbagai pihak. Di satu sisi, hal ini menunjukkan besarnya antusiasme publik untuk terlibat dalam pembenahan institusi kepolisian.

“Namun di sisi lain, jumlah masukan yang terlalu besar dapat berubah menjadi beban yang kontraproduktif, terutama jika tidak diikuti dengan mekanisme penyaringan, kategorisasi, dan pemetaan masalah yang terstruktur,” ujar Haidar Alwi kepada Mediakarya di Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Haidar juga menilai, terlalu banyak informasi menyebabkan energi tim tersedot pada proses memilah, membandingkan, dan menimbang, alih-alih bergerak cepat pada tahap kristalisasi gagasan.

“Fenomena ini berpotensi membuat komite kehilangan fokus, kewalahan oleh banyaknya opsi, mengalami tekanan akibat ekspektasi publik yang terus meningkat, hingga kesulitan menyusun prioritas yang jelas. Pada akhirnya, proses pengambilan keputusan menjadi lambat dan tersendat,” ungkap Haidar.

Padahal, mandat yang diberikan kepada Komite Reformasi Polri memiliki batas waktu yang ketat dan menuntut eksekusi yang efisien. Presiden Prabowo hanya memberikan tiga bulan untuk merumuskan rekomendasi komprehensif terkait percepatan reformasi Polri.

Bulan pertama merupakan masa penyerapan aspirasi publik, dan fase ini nyatanya telah melahirkan volume masukan yang luar biasa besar.

Namun memasuki bulan kedua, seharusnya mulai bergerak dari tahap pengumpulan ke tahap penyaringan dan formulasi, bukan justru terombang-ambing oleh banjir data mentah yang tak kunjung selesai dicerna.

“Momentum penyusunan rekomendasi harus dimanfaatkan untuk memilih inti persoalan, merumuskan prioritas strategis, serta merancang langkah konkret yang dapat dilaksanakan secara realistis oleh institusi kepolisian,” katanya.

Namun jika tidak, lanjut dia, proses penyusunan pada bulan kedua akan terseret terlalu dalam pada debat internal maupun analisis yang tidak berujung.

Bulan ketiga akan menjadi fase paling krusial karena Komite Reformasi Polri harus memfinalisasi rekomendasi yang menyangkut kemungkinan revisi aturan, penyempurnaan kode etik, hingga usulan perubahan regulasi.

“Tahap ini membutuhkan kejernihan analisis, fokus penuh, dan kecepatan dalam memutuskan. Mereka tidak bisa tiba pada fase finalisasi dengan tumpukan data yang belum terurai atau yang masih kabur akibat terlalu banyak masukan yang tidak terfilter,” jelas Haidar.

Padahal, Reformasi Polri menuntut ketegasan dalam membaca persoalan inti, bukan keraguan yang muncul dari masukan berlebihan. Jika mereka gagal keluar dari jebakan paralysis by analysis, maka seluruh proses akan berisiko menghasilkan rekomendasi yang normatif, kompromistis, atau bahkan tidak memiliki kekuatan eksekusi.

“Tiga bulan adalah waktu yang singkat, dan publik menunggu hasil yang konkret. Komite Reformasi Polri harus segera menetapkan prioritas, menyederhanakan proses analisis, dan memastikan bahwa setiap langkah diarahkan pada proses pengambilan keputusan yang terukur, bukan terjerat dalam kerumitan yang diciptakan oleh informasi atau masukan itu sendiri,” tutup Haidar. (Hab)

Exit mobile version