Konstitusi dan Pendidikan Kita

Prof. Yudhie Haryono

Oleh: Yudhie Haryono

Kita bertanya-tanya, “kenapa makin banyak sarjana kita (produk lokal maupun asing) tidak serta merta membuat posisi Indonesia bermartabat di dunia?” Bahkan, dalam beberapa hal kita makin tak sejahtera dan sentosa. Di mana pokok soalnya dan kita harus bagaimana, ini yang mau kita diskusikan.

Menurut BPS, jumlah sarjana kita per Desember 2024 adalah 12.091.571 jiwa. Jumlah ini meningkat setiap tahunnya. Tentu ini jumlah yang besar walau belum signifikan dibanding jumlah seluruh penduduk. Apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangga.

Padahal, konstitusi kita bicara tegas soal kewajiban pemerintah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Satu perintah yang diterjemahkan dalam pasal 31 ayat (1)Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Lalu, ayat (4)Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi hak pendidikan.

Ini menunjukkan bahwa konstitusi kita sangat pro-pendidikan. Semua soal pendidikan merupakan kewajiban negara sekaligus hak fundamental yang harus diakses oleh setiap warga negara tanpa memandang latar belakang, ekonomi, sosial, maupun geografisnya.

Namun, terdapat kesenjangan besar antara janji konstitusi dan realitas pendidikan di Indonesia. Banyak anak-anak dari keluarga kurang mampu yang masih kesulitan mengakses pendidikan berkualitas karena berbagai hambatan, seperti kurikulum yang anti Indonesia, SDM guru yang feodal, biaya besar tak terjangkau dan akses yang tidak maksimal.

Hal tersebut mengakibatkan projek pendidikan kita terutama di daerah terpencil masih menjadi problema besar karena kurangnya fasilitas pendidikan, SDM rendah dan minus dukungan teknologi; jurang perbedaan kualitas pendidikan di pedalaman dibandingkan dengan perkotaan yang makin lebar; alokasi anggaran pendidikan yang besar tetapi kurang efektif karena masalah birokrasi dan KKN; kurikulum yang sering berubah tanpa evaluasi mendalam, kritis dan adaptif.

Untuk mengatasi problema ini, pemerintah dan warga negara harus bekolaborasi untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia adalah realisasi dari janji proklamasi guna mencetak patriot negara yang merdeka, mandiri, modern dan martabatif (4M). Inilah profil sarjana kita. Inilah produk dan cita-cita besar kita dalam berpendidikan dan berpengajaran.

Harus diakui bahwa negara kita, Indonesia yang kita warisi dan tinggali ini tidak seindah dan seperti yang diharapkan. Sayangnya, kita selalu ingin menggambarkan republik kita ini secara mutlak, adil, pasti, bersatu, rapi dan indah laksana sorga di bumi. Padahal das sollen tidak serta merta menjadi das sein.

Kita bisa menyebutnya sebagai republik paradoks dan negeri kontradiktif. Dari hipotesa ini kita menemukan beberapa fakta riil di lapangan: 1)Negeri kaya, tetapi banyak rakyat miskin; 2)Elite beragama, tetapi KKNnya mentradisi; 3Negara penuh rumah ibadah, tetapi banjir kemaksiatan; 4)Pemerintahan pancasila, tetapi membela oligarki hitam; 5)Konstitusi sempurna, tetapi banyak peraturannya mencekik warga negara.

Selanjutnya kita juga menemukan yang ke-6)Banyak warganegara pinter dan moralis, tetapi banyak pejabatnya maling dan pencopet; 7)Banyak polisi, jaksa dan hakim, tetapi penjahat makin banjir; 8)Yang jenius jadi oposisi, yang jahiliyah jadi pejabat; 9)Sarjana banyak, tetapi banyak pejabatnya tak berijazah.

Republik paradox ini pasti tidak mudah diatasi. Hanya lewat pendidikan Indonesialah, problema itu harus dipecahkan serta ditemukan obat plus solusinya. Dan, dalam berbagai kesempatan, kepala negara kita sudah sering sampaikan. Tentu agar Indonesia segera menjadi mercusuar dunia.

Presiden mengungkapkan bahwa tidak ada negara yang bisa mencapai kesejahteraan dan kemajuan tanpa pendidikan yang bermutu. Lalu, ia menegaskan bahwa kunci utama untuk membangun kemandirian nasional di berbagai sektor strategis adalah melalui pendidikan yang berkualitas dunia. Penegasan tersebut disampaikannya saat memimpin rapat terbatas bersama jajaran menteri Kabinet Merah Putih di kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Senin, 23 Juni 2025.

Pesan dan perintahnya jelas. Pendidikan dan pengajaran itu kunci. Semoga agensi dan para menterinya paham dan merealisasikan segera.

Penulis: CEO Nusantara Centre

Exit mobile version