JAKARTA, Mediakarya – Ketua Pendiri LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar tidak terjebak dengan pernyataan Bank Dunia tentang proyek Indonesia Health Systems Strengthening (IHSS) yang terkesan visioner.
Di mana narasinya menyebut penguatan layanan primer dan rujukan, distribusi alat kesehatan nasional, sistem pengadaan modern, tanggung jawab vendor untuk pemeliharaan, hingga digitalisasi dan pelatihan SDM kesehatan.
Proyek ini dirancang dengan total kebutuhan US$3,9 miliar, di mana US$1,485 miliar berasal dari World Bank dan sisanya dari AIIB, ADB, IsDB serta pendampingan APBN dan DAK.
“Namun di balik retorika itu, fakta hukum dan fiskal menampilkan potret gelap, proyek raksasa tanpa dasar darurat, tanpa audit pendahuluan BPK, dan berpotensi menyimpang dari prinsip efisiensi fiskal yang dijanjikan Presiden Prabowo,” kata Iskandar dalam keterangan tertulisnya kepada Mediakarya, Senin (14/7/2025).
Iskandar menyebut tidak ada keadaan darurat yang mendasari proyek, karena WHO sudah mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) sejak 5 Mei 2023. Kemenkes melalui SK Dirjen P2P No. HK.02.02/C/3950/2023 menyatakan KLB nasional selesai.
Dia berpandangan proyek IHSS yang mulai dilaksanakan 2024 tidak lagi punya legal standing untuk memakai justifikasi darurat sesuai PP No. 1/2020.
LBH Kesehatan menilai utang lebih besar dari anggaran belanja itu, cermin kepemimpinan fiskal yang buruk. Anggaran belanja Kemenkes tahun 2023 hanya Rp30,4 triliun. Sementara pinjaman IHSS mencapai Rp70 triliun.
“Ini menjadikan proyek IHSS sebagai yang terbesar dalam sejarah Kemenkes. Jika seorang menteri membuat utang lebih besar dari anggaran kementeriannya sendiri, maka itu adalah cermin kepemimpinan fiskal yang sangat buruk dan tidak bertanggung jawab,” jelas Iskandar.
Selain itu, proyek IHSS itu dinilai ada pelanggaran prinsip konstitusi dan UU Keuangan Negara. UU No. 17/2003 pasal
Padahal, dalam APBN harus berdasar efisiensi dan akuntabilitas. UU No. 1/2022 pasal 34 mewajibkan persetujuan DPR untuk utang luar negeri dengan dasar urgensi. Faktanya, DPR hanya menyetujui berdasarkan gap assessment internal tanpa audit BPK.
“Berdasarkan temuan LHP BPK dan KPK indikasi proyek gagal sistemik. Di antaranya, komponen SOPHI: 69% alat sudah dimiliki, 45% tidak sesuai kebutuhan, 34 puskesmas tidak menerima alat. Komponen SIHREN: 14% RS tak punya infrastruktur memadai, 20% kekurangan SDM medis. Dan komponen InPULS: Belum berjalan, berpotensi ulangi kegagalan,” benernya.
LBH Kesehatan juga mengungkap bahwa proyek IHSS itu berisiko fiskal terbuka lebar. Seperti, melemahnya kurs 10% = tambahan beban Rp7 triliun, penalti keterlambatan 0,1%/hari, 90 hari = potensi kerugian Rp630 miliar. Dan pola pengadaan sentralistik = potensi monopoli vendor.
Sementara itu, kata Iskandar, dalam LHP BPK 2018–2024 mengonfirmasi pola gagal berulang. Seperti di tahun 2018: Pencatatan ganda (RSUD Bima). Tahun 2020: Pengadaan COVID tak berdasar kebutuhan riil. Tahun 2022: Markup Cathlab (RSUD Bengkulu). Tahun 2023: Alat tanpa kontrak (RSUD Martapura). Dan tahun 2024: Volume tak sesuai spesifikasi (Aceh Selatan)
“Selain itu, legalitas administratif tidak menjamin konstitusionalitas secara administratif, bahwa proyek disetujui. Tapi melanggar pasal 23C dan 23D UUD 1945 yang mewajibkan efisiensi dan profesionalisme dalam pengelolaan keuangan negara,” ungkapnya.
Untuk itu, LBH Kesehatan memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan proyek IHSS:
Pertama, udit investigatif oleh BPK (UU 15/2004 pasal 9). Kedua, gunakan hak angket DPR (UU 17/2014 Pasal 77). Ketiga, segera melapor ke KPK atas dugaan diskriminasi tender, markup, konflik kepentingan. Dan yang keempat, judicial review ke Mahkamah Agung
Lebih lanjut, kata Iskandar, bahwa IHSS sah secara administratif, tapi cacat secara konstitusional dan fiskal. Dalam situasi non-darurat, proyek ini mengabaikan prinsip kehati-hatian pengelolaan utang (UU 17/2003) dan semangat efisiensi fiskal Presiden Prabowo (Inpres No. 7/2024).
“Jika dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk dan pembangkangan terselubung oleh Kementerian terhadap garis kebijakan negara,” pungkasnya. **