Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Dua dunia yang bertolak belakang
Di satu sisi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dengan bangga memaparkan capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang impresif Rp200,66 triliun per 10 November 2025, atau 78,74% dari target APBN 2025. Angka ini menegaskan bahwa sektor minerba sebagai pilar utama penerimaan negara.
Namun, di balik gemerlap angka tersebut, tersembunyi sebuah realitas yang lebih kelam. Surat dari Direktorat Pengawasan BPKP nomor PE.04.02/S-30/D102/2/2025 tanggal 20 Januari 2025 mengungkap sebuah drama yang melibatkan 16 wajib bayar PNBP sektor nikel. Ini tentu menjadi celah buruk terhadap kinerja Lahadalia.
Surat itu menjadi bukti nyata adanya “penyakit kronis” dalam tata kelola PNBP, yakni prosedur yang dilangkahi, tarif yang dipaksakan, dan potensi kerugian negara yang membengkak hingga triliunan rupiah.
IAW melihat itu bukan sekadar persoalan administratif. Ini adalah ujian bagi kedaulatan hukum Indonesia. Ketika prosedur pemeriksaan dilompati, yang terancam bukan hanya legitimasi kebijakan, tetapi juga kepercayaan investor dan stabilitas kas negara. Mungkin hal ini patut dicermati Menteri ESDM sebelum publikasikan angka impresif Rp200,66 triliun, atau setelahnya. Sehingga Bahlil paham betul terkait angka impresif itu.
Peta kekacauan hukum yang seharusnya jelas
Mari kita lihat aturan main yang seharusnya menjadi panduan bersama:
- PP No. 1 tahun 2021, ini aturan utama yang mengatur tata cara pemeriksaan PNBP. Ia menetapkan urutan yang saklek, yakni dari: Temuan Hasil Pemeriksaan (THP) ke Tanggapan Tertulis Wajib Bayar lalu ke Konsep LHP atas THP dan Tanggapan kemudian ke Pembahasan Tripartit.
- Permenkeu No. 12 tahun 2022 yang mempertegas tenggat waktu, hak tanggapan, dan keharusan Konsep LHP berbasis pada THP dan tanggapan.
- PP No. 26 tahun 2022 dengan tegas menetapkan tarif 2% untuk bijih nikel kadar rendah yang diolah smelter HPAL untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
- Perpres No. 55 tahun 2019 juga menjadi dasar kebijakan hilirisasi yang menjadi roh pemberian insentif tarif tersebut.
Aturan-aturan ini bukanlah dekorasi. Mereka adalah “rambu lalu lintas” yang menjamin pemeriksaan berjalan sah, keputusan administratif dapat dipertahankan, dan negara punya posisi tawar yang kuat dalam penagihan.
Kronologi kekacauan dari temuan menjadi pemaksaan
Kisah ini berakar panjang. Pola ketidaksesuaian volume antara laporan perusahaan dan surveyor independen telah menjadi catatan temuan BPK selama satu dekade. Namun, titik kritisnya terjadi pada 2023-2025:




