Oleh: Prof. Dr. Muhammad M. Said, M.Ag., CPHCM, CIRR (Direktur Excekutive Institute for Public Policy Studies Indonesia)
Polisi Instrumen Utama Bela negara, Bukan untuk Kekuasaan. Sejak masa reformasi bergulir pada 1989 hingga kini, wacana transformasi dan reformasi kepolisian menjadi topik hangat yang terus bergulir dari waktu ke waktu. kehangatan tuntutan reformasi mengambarkan adanya ekspketasi agar polisi bisa menjadi instrumen utama bela negara yang bertindak secara profesional, bermartabatm humanis dan stand with majority of people, menjadi lembaga Independent, dan bebas dari intervensi politik dan kepentingan kelompok. Harapan ini sebenarnya menjadi spirit utama Gusdur memisahkan polisi dari TNI. Seiring berjalan waktu, harapan reformasi semakin jauh dari kenyataan yang ditandai dengan banyak kasus menunjukkan bahwa Polri terperangkap masuk lingkaran kekuasaan dan privilese struktural yang sudah mengakar sejak tumbangnya era Orde Baru.
Meski telah terpisah dari TNI pada tahun 2000 melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000, berbagai permasalahan krusial mewarnai institusi ini Polri mulai dari rekrutmen yang belum transparan, penegakan hukum yang diskriminatif, serta lemahnya pengawasan internal. Reformasi struktural memang berjalan, tetapi reformasi kultural dan moralitas hukum masih jauh tertinggal. Bahkan, ada kecenderungan kuat merawat ketidakadilan, menodai Hak Azasi Manusia (HAM), pemunuhan karakter, nama baik dan masa depan anak bangsa yang berpretstasi. Mereka kriminalisasi Hukum dengan sangat luar biasa sehingga hukum benar-benar tidak berfungsi sebagai instrumen penegakkan keadilan di tangan Polisi sebagai penegak hukum.
Impaknya kepercayaan publik terhadap integritas, netralitas, profesionalitas, dan capabilitas Polisi merosot tajam. Sebagai fondasi utama, kepercayaan publik menjadi satu kebutuhan dasar yang tidak bisa ditawar. Sebagai pemilik kedautalat tertinggi di negeri ini, rakyat sebagai people power memiliki selain kedaulatan juga kekuatan menjaga agar kesucian demokrasi tidak ternodai, supremasi hukum yang menjunjung tinggi azas hukum praduga tak bersalah tegak lurus, dan melaksanakan check and balance atas posisi dan kinerja polisi. Harapan arah baru reformasi agar polisi menjadi instrumen penegak hukum yang adil dan tranfaran semakin jauh dari cita-cita besar reformasi hingga muncul tuntutan yang semakin menguat perlu segera dilakukan reformasi dan transformasi Polri yang menyentuh akar persoalan, yang mengeluarkan polisi dari zona nyaman kebenarann versi sepihak, serta menghendtikan p9lisi agar tidak terus terjebak dalam lingkaran kekuasaan dan kepentingan kelompok elit.
Pola Rekrutmen Anggota Polri berbasis Meritokrasi, bukan Koneksi
Sudah jadi rahasia umum bahkan pola rekruitmen SDM di lingkungan Polri dalam mata publik bahkan sesama insider cacat proses meritokrasi. Padahal, rekruitmen ini menjadi salah satu pintu masuk untuk membuka ruang demokrasi bagi anak bangsa, siapapun yang memiliki kemampuan mereka mempunyai hak yang sama dan setara untuk direkrut menjadi anggota Polri. Rekruitmen berbasis meritokrasi ini tidak saja melahirkan high quality human resources, tetapi juga gerbong integritas yang profesional, berkapabilitas tinggi dan penjaga gawang institusi Polri dari berbagai titik rawan yang tidak saja dengan prinsi-prinsip moral dan etika organisasi Polri. Masyarakat kerap memandang bahwa peluang masuk Akademi Kepolisian (Akpol) cenderung berpihak pada mereka yang memiliki “darah biru” — anak pejabat, anak jenderal, atau mereka yang punya akses politik.
Praktek seperti ini menutup pintu bagi banyak anak muda cerdas dari keluarga sederhana yang ingin mengabdi kepada bangsa lewat jalur kepolisian. Mereka harus tersingkir atas sana dara bitu dan no connection. Semangat Bhayangkara yang sejati justru lahir dari mereka yang memahami penderitaan rakyat, hidup di tengah keterbatasan, dan bertekad menjaga keadilan.
Sistem rekrutmen harus direformasi menjadi transparan, adil, dan berbasis kompetensi. Jalur pendidikan dari bintara ke Akpol perlu dibuka kembali secara luas, agar regenerasi kepemimpinan di tubuh Polri tidak hanya diwariskan lewat garis keturunan kekuasaan.
Budaya “Perintah Pimpinan” Harus Dihentikan
Salah satu penyakit lama yang belum sembuh di tubuh kepolisian adalah budaya “asal perintah pimpinan”. Banyak aparat di lapangan terpaksa menuruti perintah atasan meskipun bertentangan dengan hati nurani dan hukum. Akibatnya, pelanggaran etika dan penyalahgunaan wewenang sering dibiarkan karena pelaku merasa dilindungi oleh jabatan atasannya.
Dalam negara hukum, tanggung jawab moral dan profesional harus bersifat vertikal dan individual. Seorang perwira tidak boleh berlindung di balik instruksi jika perintah itu melanggar hukum. Reformasi komando diperlukan agar setiap tindakan aparat didasarkan pada nilai hukum, bukan sekadar loyalitas jabatan. Karena itu, momentum reformasi dan transformasi ini dibutuhkan keberanian untuk mereformasi dengan memangkas kepala yang bermasalah, tidak ada prajurit yang bersalah, melainkan komnadan yang bermasalah.
Perkuat Kompolnas dan Sinergi Penegak Hukum
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang dibentuk untuk mengawasi kinerja Polri, belum berfungsi maksimal, masih menujukkan subjektivitas tingkat tinggi. Dalam banyak kasus, lembaga ini kehilangan daya kritis dan lebih sering menjadi penonton ketimbang pengawas. Padahal, Kompolnas seharusnya memiliki kewenangan yang kuat untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi di tubuh kepolisian.
Demikian pula sinergi antara Polri dan Kejaksaan harus diarahkan untuk memperjuangkan keadilan publik, bukan untuk melanggengkan kekuasaan. Jika dua institusi penegak hukum ini berjalan tanpa integritas, maka hukum akan kehilangan wajah manusianya.
Menjadi Polisi Etis, Humanis dan Profesional
Reformasi kepolisian harus menyentuh akar budaya ini, menegakkan pengawasan internal yang objektif, dan menumbuhkan kembali nilai persaudaraan serta moralitas nurani di antara sesama aparat. Sebab keadilan tidak akan pernah hidup di tengah institusi yang sibuk menjatuhkan rekan sendiri demi kepentingan sempit; dan Polri yang kuat hanya akan lahir dari kejujuran, empati, serta keberanian untuk melindungi kebenaran, bukan menutupi kebencian.
Reformasi sejati tidak berhenti pada struktur kelembagaan, melainkan harus menyentuh mental, karakter, dan spiritualitas aparat. Polisi masa depan harus humanis, empatik, dan berpihak pada rakyat.
Pendidikan kepolisian perlu diperkuat dengan nilai-nilai etika publik, moralitas sosial, dan keadilan universal. Polisi memiliki karakter tegas tidka mencerminkan otoriter, humanis bukan berarti lemah, dan kuat bukan berarti bebas penyalahgunaan kewenangan apakah lagi sampai mengancam siapapun yang mengganggu, saya akan kejar sampai langit ketujuh, ancam Kapolda ketika menjadi pembina Upacata di depan kantornya. Dalam masyarakat multikultural Polisi harus menjadi simbol pelindung rakyat, bukan alat represi kekuasaan, dan menjatuhkan polisi lain.
Penutup: Keadilan Tak Bisa Dibeli
Transformasi dan reformasi kepolisian adalah keniscayaan dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sudah saatnya Polri menegakkan hukum dengan nurani, bukan dengan kepentingan. Slogan “Presisi” hanya akan bermakna bila dijalankan dengan ketulusan dan keberanian untuk berubah.
Rakyat tak butuh polisi yang sempurna, tapi mereka butuh polisi yang jujur, adil, dan berani berpihak pada kebenaran. Karena kepercayaan publik bukan hadiah dari jabatan, melainkan lahir dari keberanian untuk menegakkan keadilan, meski di hadapan kekuasaan. ***