CBA Minta Jangan Sampai Sumbangan Rp1.000 per Hari ala KDM Berbau Pemerasan Sosial 

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. (Ist)

JAKARTA, Mediakarya- Lembaga Center for Budget Analysis (CBA) menilai kebijakan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) melalui Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) sebagai langkah yang secara moral ambigu dan berpotensi menindas masyarakat berpenghasilan rendah.

Di atas kertas, gerakan ini diklaim sebagai bentuk gotong royong sosial, namun dalam praktiknya dinilai lebih menyerupai pemerataan beban daripada pemerataan kebaikan.

Dalam surat edaran itu, KDM mengimbau agar ASN, pelajar, dan masyarakat menyisihkan Rp1.000 per hari untuk membantu pendidikan dan kesehatan darurat.

Namun menurut CBA, imbauan dari seorang gubernur tidak bisa dianggap ajakan ringan melainkan perintah moral yang memiliki tekanan struktural.

“ASN yang tidak ikut berdonasi bisa dicap tidak loyal, sementara warga yang menolak bisa dianggap tidak peduli. Ini bukan ajakan gotong royong, tapi tekanan sosial terselubung,” kata Jajang Nurjaman, Koordinator CBA, dalam keterangannya, Ahad (5/10/2025).

CBA menilai, gerakan sosial semacam ini berpotensi menjelma menjadi pemaksaan moral terhadap rakyat kecil yang justru sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut CBA, kebijakan ini gagal mempertimbangkan kesenjangan ekonomi warga. “Bagi ASN bergaji Rp6–10 juta, seribu rupiah mungkin hanya uang parkir. Tapi bagi buruh, tukang ojek, atau pedagang kecil, angka itu setara harga sepiring nasi anaknya,” ujar Jajang.

Ia menilai, dengan menyamakan nominal tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi, kebijakan ini memindahkan beban sosial negara ke pundak rakyat miskin.

“Alih-alih menjadi simbol solidaritas, ini justru menjadi ironi sosial: si miskin menolong si miskin, sementara negara absen dari tanggung jawabnya,” tegasnya.

CBA menegaskan, urusan pendidikan dan kesehatan darurat merupakan tanggung jawab negara, bukan hasil patungan warga. “APBD Jawa Barat 2025 saja mencapai Rp32 triliun. Mustahil dana sebesar itu tidak cukup untuk membantu warga miskin tanpa memungut iuran Rp1.000 per hari dari rakyat,” kata Jajang.

Menurutnya, jika pemerintah daerah masih harus “mengemis” kepada rakyat untuk menutup kebutuhan sosial dasar, maka hal itu menjadi indikasi serius kegagalan tata kelola anggaran publik.

CBA juga mengkritik sistem pengelolaan dana Rereongan Poe Ibu yang dikumpulkan melalui rekening khusus Bank BJB namun bukan dana APBD, sehingga tidak tunduk pada audit BPK.

“Ini sangat berbahaya. Tanpa sistem audit independen, uang rakyat bisa dikelola secara tidak transparan — bahkan berpotensi menjadi alat pencitraan politik,” ujar Jajang.

Menurutnya, publik berhak tahu siapa pengelola, siapa penerima manfaat, dan bagaimana laporan dana tersebut diverifikasi.

CBA menilai gerakan rereongan lebih bersifat populis ketimbang solutif.
“Gotong royong harus tumbuh dari bawah secara sukarela, bukan digerakkan dari atas dengan surat edaran pemerintah. Bila ada tekanan sosial atau birokratis, maka sukarela kehilangan maknanya,” jelas Jajang.

CBA mendesak Gubernur Jawa Barat untuk mencabut atau merevisi surat edaran tersebut dan menggantinya dengan kebijakan bantuan sosial berbasis APBD yang akuntabel.

Selain itu, jika program solidaritas tetap dijalankan, maka:

Exit mobile version