Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) & Agus Rizal (Ekonom Univ MH Thamrin)
Manusia itu penting. Tetapi, generasi unggul jauh lebih penting. Karena itu, kebijakan sumber daya manusia dan kependudukan dalam rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional menegaskan bahwa peningkatan kualitas penduduk adalah fondasi daya saing yang meneguhkan negara pancasila. Posisi generasi patriot menjadi lokus kita dalam pembangunan nasional via pendidikan.
Namun di lapangan, arah pengelolaan talenta nasional justru melemah. Negara berbicara tentang kualitas-kapasitas, tetapi ekosistem pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan masih timpang, bahkan tidak menjadi prioritas nasional. Akibatnya, potensi besar generasi muda tidak beralih menjadi kekuatan ekonomi, melainkan tertahan dalam lingkaran keterbatasan.
Karenanya, kebijakan menciptakan dan menghadirkan generasi unggul menempatkan mutu penduduk sebagai modal strategis pembangunan jangka panjang. Tetapi, tantangannya adalah ketidaksinkronan program antarinstansi, sehingga peningkatan kapasitas hanya menjadi proyek administratif, bukan transformasi nyata. Dalam situasi global yang semakin kompetitif, lemahnya integrasi kebijakan membuat talenta nasional gagal masuk dalam peta ekonomi berbasis inovasi.
Secara teoretis, human capital theory dari Becker (1964) menegaskan bahwa investasi pada pendidikan dan keterampilan menghasilkan peningkatan produktivitas dan pendapatan. Di Indonesia, investasi itu terhambat oleh ketidakmerataan akses dan kualitas layanan dasar. Ketika pendidikan belum merata dan pelatihan kerja tidak adaptif terhadap kebutuhan industri, talenta nasional terjebak sebagai tenaga kerja murah, bukan aset unggulan.
Kebijakan yang mengamanatkan pemerataan layanan pendidikan, pengendalian kualitas penduduk, serta perlindungan tenaga kerja sebenarnya sudah bergerak ke arah yang benar. Namun implementasinya masih terpaku pada proyek jangka pendek. Alih-alih menciptakan generasi produktif, kebijakan justru memunculkan jurang antara kesiapan penduduk dan kebutuhan ekonomi modern. Kesalahan ini membuat bonus demografi kehilangan makna.
Dalam kerangka demographic transition theory (Notestein, 1953), peningkatan penduduk usia produktif seharusnya menjadi momentum emas. Tetapi tanpa kualitas dan keterampilan, ledakan usia produktif justru berubah menjadi beban struktural. Inilah yang mulai muncul saat talenta nasional menumpuk di sektor informal, tidak terserap sektor berteknologi, dan tidak dipersiapkan menuju ekonomi berbasis inovasi.
Kekecewaan juga muncul di kalangan talenta nasional yang melihat negara tidak memberikan ruang, kepastian karier, maupun dukungan ekosistem untuk berkembang. Banyak dari mereka akhirnya memilih bekerja di luar negeri, bukan karena ingin “meninggalkan Indonesia”, tetapi karena perbedaan kurs mata uang yang membuat kemampuan ekonomi mereka meningkat drastis.
Fenomena ini menciptakan ilusi oportunitas: talenta terbaik terpaksa menukar kapasitas intelektualnya dengan selisih mata uang yang lebih menguntungkan, bukan dengan peluang riset, teknologi, dan inovasi di tanah air. Inilah jebakan perbudakan modern dan trans nasional.
Cara terbaik memperbaiki situasi ini bukan sekadar mendorong mereka kembali pulang, tetapi membangun strategi ganda: menarik talenta nasional agar merasa layak kembali, dan secara bersamaan mendukung talenta Indonesia yang berada di luar negeri agar tetap terhubung, berkontribusi, dan mendapat ruang kolaborasi strategis. Negara harus memanfaatkan diaspora sebagai kekuatan eksternal sekaligus memperkuat ekosistem domestik agar tidak lagi memproduksi pelarian talenta, tetapi magnet talenta.
Jika negara ingin keluar dari lingkaran stagnasi, pengelolaan talenta nasional harus menjadi prioritas strategis yang terukur dan terintegrasi. Kualitas penduduk tidak boleh hanya menjadi slogan, tetapi dasar seluruh kebijakan ekonomi. Prioritas penguatan manusia Indonesia yang keren, punya jati diri, inovatif dan adaptif pada perkembangan zaman menjadi sangat penting.
Ya. Negara ini harus diisi oleh para putra bangsa yang jenius, kompeten, berwibawa dan Pancasilais, bukan dikelola oleh pemimpin yang penalarannya kacau dan tidak kompeten serta pengkhianat. Pemimpin seperti itu akan lebih banyak membunuh masa depan bangsa dibanding kejahatan itu sendiri.
Sebaliknya, ketika talenta nasional benar-benar dikelola dengan serius, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah kekuatan demografis menjadi kekuatan ekonomi-politik yang berkelanjutan.
Apa yang harus segera dilakaukan? Pertama, melakukan reinvestasi dan reorientasi pendidikan dan pelatihan; Kedua, peningkatan infrastruktur strategis; Ketiga, meningkatkan kualitas hidup: Keempat, melakukan diversifikasi dan hilirisasi ekonomi; Kelima, meningkatkan tabungan dan investasi; Keenam, mengembangkan kewirausahaan; Ketujuh, meningkatkan kualitas tata kelola dan kurikulum pendidikan.
Dengan melakukan strategi struktural dan fungsional tersebut, Indonesia dapat keluar dari jebakan generasi rendah mental dan generasi defisit kecerdasan plus kejeniusan nusantara. Lahorlah pasukan generasi unggul yang dahsyat.
Generasi unggul ini harus diberikan kesempatan untuk belajar sepanjang hidup mereka. Pendidikan harus mendorong pengembangan diri yang berkelanjutan dan kemampuan belajar secara mandiri. Tentu agar memiliki keterampilan kritis, kemampuan kreatif, praktek kolaboratif, tradisi komunikatif dan kejeniusan ideologis.
Generasi unggul inilah yang akan berkontribusi secara signifikan terhadap kemajuan ipoleksosbudhankam Indonesia. Tanpa mempersiapkan kehadiran mereka, kita telah rabun pada konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa seperti dalam pembukaannya. Mestakung. **
