Daerah  

Amarawati Art Community Gelar Pameran “Nadi Cita Tampaksiring” di Griya Santrian Gallery Sanur

DENPASAR, Mediakarya – Amarawati Art Community, komunitas perupa dari Tampaksiring, kembali menggelar pameran bersama di Griya Santrian Gallery, Sanur, Bali. Pameran yang bertajuk “Nadi Cita Tampaksiring” ini akan berlangsung hingga 31 Desember 2025.

Owner Griya Santrian Gallery, Ida Bagus Gede Sidharta Putra, dalam sambutannya menekankan pentingnya peran galeri sebagai ruang bagi perkembangan seni rupa di Bali, yang ia sebut sebagai warisan tak ternilai. Menurutnya, pameran Amarawati Art Community kali ini secara jelas menunjukkan keragaman bentuk, media, dan artistik yang mencerminkan dinamika kreativitas perupa yang tumbuh dan berkembang di Tampaksiring. “Pameran ini tidak hanya membawa identitas personal para seniman, tetapi juga merupakan bentuk dedikasi terhadap khasanah budaya visual tanah kelahiran mereka,” ucapnya, Jumat (14/11/2025).

Kurator pameran, I Made Susanta Dwitanaya dan Savitri Sastrawan, menjelaskan bahwa nama komunitas “Amarawati” sendiri diambil dari penggalan prasasti Tengkulak (945 Saka/1023 Masehi), yang merujuk pada katyagan (tempat pertapaan) atau kadewa guruan di Pakerisan yang diduga merupakan nama masa lalu dari situs Candi Tebing Gunung Kawi Tampaksiring. Komunitas yang didirikan pada tahun 2016 ini berharap dapat mengambil spirit katyagan tersebut sebagai wadah untuk berkarya dan mengembangkan gagasan kreatif.

Nama pameran, “Nadi Cita Tampaksiring,” dimaknai sebagai “aliran kreativitas perupa Tampaksiring.” Dalam konsep Bali, nadi diartikan sebagai aliran sungai (jagat agung), pembuluh darah (jagat alit), atau aliran energi yang lebih halus.

Nadi juga bermakna “menjadi” atau “berjiwa.” “Dengan demikian, pameran ini ingin merepresentasikan aliran kreativitas yang tumbuh dari lokus dan situs budaya Tampaksiring, memotret dinamika ekspresi visual masyarakatnya,” jelas Susanta Dwitanaya.

Keunikan pameran ini terletak pada keberagamannya, mencakup lukisan, patung, instalasi, ukiran tulang, hingga ogoh-ogoh khas Tampaksiring. Hal ini sejalan dengan pembacaan para kurator atas sejarah budaya rupa di Tampaksiring, yang membentang sejak masa prasejarah (temuan Nekara Pejeng) hingga perkembangan seni modern dan kontemporer.

Susanta Dwitanaya menjelaskan bahwa Tampaksiring, yang diapit oleh Sungai Pakerisan dan Petanu, merupakan lokus dengan situs-situs arkeologis penting seperti Pura Pegulingan dan Gunung Kawi. Bahkan pada era pra-kemerdekaan (1930-an), tokoh-tokoh seperti Ida Bagus Mukuh dan Ida Bagus Grebuak telah melukis kehidupan sehari-hari, di mana karya Grebuak yang melukis pertandingan sepakbola tahun 1929 kini tersimpan di Museum Volkenkunde Belanda.

Selain seni lukis, pameran ini juga menampilkan seni ukir tulang yang telah berkembang melintasi tiga generasi, serta seni ogoh-ogoh yang kini menjadi ikon Tampaksiring. Ogoh-ogoh khas Tampaksiring dikenal viral di media sosial sejak 2018 berkat karakter yang realistik, gestur natural, dan raut wajah ekspresif, menunjukkan proses reinvented tradition yang bergerak secara dinamis.

Melalui keberagaman ini, pameran “Nadi Cita Tampaksiring” secara sadar menerabas sekat-sekat usia, generasi, disiplin, dan medium. Tidak ada lagi dikotomi antara fine art dan craft. Seni ukir yang bersanding dengan seni lukis, gagang keris berukir bersanding dengan patung, semua luruh dalam pembacaan tunggal sebagai “budaya rupa” yang tumbuh dari lokus dan situs kesejarahan.

Secara keseluruhan, pameran ini menyajikan akumulasi kreativitas tiap perupa lintas generasi dari seniman generasi tua, generasi muda, bahkan karya kanak-kanak yang menekuni berbagai media, seperti ukir tulang, anyaman bambu, ogoh-ogoh, tato, fotografi, lukisan, dan patung. Pameran “Nadi Cita Tampaksiring” adalah sebuah perayaan atas budaya rupa yang matang, otentik, dan terus berevolusi di Tampaksiring, memberikan warna tersendiri bagi perkembangan seni rupa Bali secara keseluruhan.(Bud)

Exit mobile version