JAKARTA, Mediakarya – Delapan puluh tahun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia telah menjelma menjadi negara yang lihai menyita aset hasil kejahatan. Dari nasionalisasi perusahaan asing, penyitaan aset politik, hingga perampasan harta koruptor dan bandar narkotika, negara tampak tegas dan berwibawa di ruang sidang.
Namun di balik vonis-vonis inkracht itu, menurut Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), ada cerita lain yang jarang dibicarakan, yaitu negara sering kalah telak ketika aset yang berhasil direbut itu harus dikelola.
“Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berulang kali menunjukkan paradoks yang sama, yakni setiap kemenangan di pengadilan kerap berubah menjadi kekalahan di neraca negara. Aset mangkrak, nilai menyusut, biaya perawatan membengkak, dan tanggung jawab pengelolaan menguap di antara institusi penegak hukum,” papar Iskandar, dalam keterangan tertulis yang diterima mediakarya.id, Selasa (23/12/2025).
Iskandar menjelaskan, sejak 1945 sampai 1959 menjadi periode nasionalisasi tanpa akuntabilitas. Tonggak pertama perampasan aset negara lahir dari semangat kedaulatan. Undang-Undang nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda menjadi simbol keberanian politik Indonesia pasca-kemerdekaan. Perkebunan, pabrik, bank, dan perusahaan strategis beralih tangan menjadi milik negara.
Namun keberanian politik itu tidak diikuti kehati-hatian fiskal. Undang-undang nasionalisasi tersebut tidak mengenal neraca awal, tidak memerintahkan penilaian independen dan tidak mengamanatkan audit. Kajian BPK tahun 2007 tentang BUMN hasil nasionalisasi mencatat fakta telanjang, yakni nilai historis aset-aset tersebut tidak pernah tercatat secara sistematis dalam pembukuan negara.
“Di sinilah ‘dosa asal’ tata kelola kekayaan negara bermula. Negara belajar merampas tanpa menghitung. Aset dipandang sebagai simbol kedaulatan, bukan sebagai kekayaan publik yang harus dipertanggungjawabkan,” ujar Iskandar.
Selanjutnya, ketika tahun 1960 hingga 1965 menjadi periode penyitaan sebagai instrumen politik. “Awal dekade 1960-an memperkenalkan babak baru yakni penyitaan sebagai alat politik,” kata Iskandar.
Penetapan Presiden nomor 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan Undang-Undang nomor 5/PNPS/1959 memberi kewenangan luas kepada negara untuk menyita aset pihak-pihak yang dianggap mengancam ideologi negara.
Sejarah mencatat, aset-aset yang disita dalam periode ini sering kali tidak pernah masuk ke sistem keuangan negara. Banyak yang dikuasai aparat militer atau birokrasi lokal tanpa jejak administratif yang jelas. Penyitaan menjadi tindakan kekuasaan, bukan proses hukum yang akuntabel.
“Preseden ini berbahaya. Negara membiasakan diri bahwa perampasan aset tidak harus diikuti pertanggungjawaban fiskal. Pola itu kelak berulang dalam konteks yang berbeda,” ungkap Iskandar.
Adapun masa tahun 1966–1998 menjadi periode KUHAP dan ambiguitas sistemik. “Ketika Orde Baru menata ulang sistem hukum, lahirlah Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 44 dan pasal 197 KUHAP memberikan kewenangan besar kepada penyidik dan penuntut umum atas barang sitaan dan barang rampasan,” katanya.
Masalahnya, lanjut Iskandar, KUHAP tidak pernah membayangkan tahap akhir pengelolaan kekayaan negara. Tidak ada batas waktu penyimpanan, tidak ada kewajiban penyerahan ke pengelola kekayaan negara dan tidak ada standar nilai.
Kegagalan desain ini meledak dalam skandal BLBI. Perpu pomor 17 tahun 1999 yang disahkan menjadi UU nomor 10 tahun 1999 memungkinkan penyitaan aset debitor perbankan. “Namun LHP BPK nomor 01/III/3/2004 mencatat akibat fatalnya yaitu: penilaian tidak independen, pencatatan tidak terpadu dan potensi kerugian negara mencapai Rp138,4 triliun. Negara tidak hanya dirugikan oleh kejahatan, tetapi juga oleh salah kelola aset rampasan!” tegas Iskandar.
Kemudian masa era 1999 hingga 2004 menjadi reformasi yang terbelah. “Era reformasi melahirkan dua rezim hukum yang berjalan sejajar tetapi tak pernah bersua,” terangnya.
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 memperkuat perampasan aset korupsi melalui pasal 18. Di sisi lain, Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menegaskan bahwa seluruh kekayaan negara, termasuk yang dapat dinilai dengan uang, harus dikelola oleh Menteri Keuangan sebagai single custodian.
“Aset rampasan berada di tengah dua dunia itu. Diakui sebagai hasil penegakan hukum, tetapi tidak pernah benar-benar diintegrasikan ke dalam sistem pengelolaan kekayaan negara! Ini anomali kekuasaan negara!” tegasnya.
Adapun masa 2004 hingga 2025, menjadi masa aset mangkrak dengan nilai menguap. “Dua dekade terakhir memperlihatkan dampak nyata dari diskoneksi tersebut,” ungkap Iskandar.
LHP BPK nomor 19/LHP/XXI/12/2020 menemukan bahwa 34 persen aset rampasan di KPK mengalami penyusutan nilai lebih dari 50 persen sebelum dilelang. Rata-rata waktu tunggu lelang mencapai 3,2 tahun, dengan biaya perawatan hampir Rp48 miliar per tahun.
LHP BPK nomor 08/LHP/XXI/06/2022 pada Kejaksaan Agung menemukan 1.247 aset senilai Rp2,3 triliun berstatus hukum tidak jelas. Mekanisme hibah yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung PER-028/A/JA/10/2014 membuka konflik kepentingan, yakni aparat penegak hukum menyita, menyimpan, mengelola, bahkan menikmati aset rampasan untuk operasional mereka sendiri!
“Dalam skema ini, DJKN sering hanya menjadi pencatat pasif. Statistik DJKN 2024 menunjukkan, hanya 45 persen aset rampasan yang tercatat sebagai BMN dalam waktu satu tahun setelah putusan inkracht,” paparnya.
Menjadi pertanyaan, kata Iskandar, mengapa reformasi selalu tersendat? Jawabannya bukan teknis, melainkan politis.
Naskah Akademik RUU Perampasan Aset tahun 2010 dan risalah rapat DPR 2021 menunjukkan resistensi kuat terhadap konsep single custodian. Mengelola aset berarti menguasai sumber daya dan pengaruh. Selama kewenangan itu terpencar di tangan aparat penegak hukum, reformasi akan selalu tersandera.
Lebih lanjut, Iskandar mengatakan, BPK telah berulang kali memberi peringatan dan rekomendasi. Yaitu bangun database terpadu, tetapkan batas waktu penyimpanan, wajibkan penilaian independen, dan integrasikan aset rampasan ke sistem keuangan negara.
Sejarah delapan dekade telah memberi pelajaran pahit. Negara boleh gagah di ruang sidang, tetapi tanpa tata kelola yang modern dan transparan, setiap kemenangan hukum hanya akan menjadi kekalahan fiskal!
“Kini pilihannya jelas, yakni mempertahankan sistem yang terbukti gagal, atau berani membedahnya secara struktural. Republik ini tidak kekurangan aturan untuk menyita. Yang kurang adalah keberanian untuk mengelola dengan benar,” pungkas Iskandar.
