Paradoks Ekonomi Nasional

Ilustrasi (Foto: Ist)

Oleh: Yudhie Haryono (Rektor Universitas Nusantara) Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

Ekonomi paradoks. Mungkin inilah tesis terbaru soal ekonomi nasional kita. Ya, pada kebijakan perdagangan luar negeri dalam perekonomian nasional menyingkap kontradiksi yang sudah lama dibiarkan. Negara mendorong ekspor besar-besaran demi devisa dan citra pertumbuhan, tetapi industri nasional justru kehilangan daya tahan dan arah strategis.

Lebih jauh, sektor koperasi dan UMKM yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat Indonesia malah terseret dalam arus liberalisasi tanpa perlindungan, menjadi penyedia murah rantai pasok global tanpa daya tawar. Pertumbuhan ekspor terlihat di angka, tetapi nilai tambah bocor ke luar negeri. Tumbuh oleh siapa dan buat siapa, tidak mencerminkan ekonomi nasioal yang pro-pemerataan.

Paradoks ini bukan tanpa akar teoretis. Sejak David Ricardo (1817) merumuskan teori comparative advantage, perdagangan bebas dianggap instrumen efisiensi global. Namun teori itu tak pernah memperhitungkan ketimpangan struktur produksi dan teknologi antarnegara. Dalam konteks pasca-kolonial, negara seperti Indonesia menjadi pemasok bahan mentah dan tenaga kerja murah, bukan pengendali rantai nilai. Inilah jebakan klasik yang dikritik Prebisch (1950) dan Andre Gunder Frank (1967) melalui teori dependensia: perdagangan bebas tanpa industrialisasi nasional hanya memperpanjang ketergantungan perifer terhadap pusat.

Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional sebenarnya mengandung semangat pembalikan arah. Kebijakan perdagangan luar negeri diarahkan untuk meningkatkan daya saing berbasis nilai tambah, melindungi produksi nasional, serta memperkuat ekspor industri kecil dan menengah. Namun di lapangan, kebijakan ekspor masih berpola “jual cepat, untung tipis” tanpa strategi industrialisasi.

Koperasi sebagai penyedia lapangan pekerjaan dan UMKM yang didorong menembus pasar ekspor sering kehilangan arah karena minim riset pasar, lemahnya logistik, dan biaya sertifikasi yang mencekik. Negara hadir hanya sebagai fasilitator administratif, bukan pelindung struktural. Singkatnya devisit fungsi negara.

Keterbukaan perdagangan yang dimaksud untuk memperluas pasar sering kali berubah menjadi arena kompetisi tak seimbang. Deregulasi ekspor-impor yang longgar memudahkan arus barang masuk, tapi menekan produsen lokal. Dalam perekonomian nasional ini, seharusnya negara diberi kewenangan kuat untuk mengatur neraca ekspor-impor secara strategis, bukan sekadar reaktif terhadap fluktuasi global. Tanpa mekanisme proteksi cerdas, ekonomi nasional akan terus bergantung pada pasar asing.

Teori strategic trade policy (Krugman, 1986) menegaskan pentingnya intervensi negara dalam sektor potensial agar dapat bersaing global. Tanpa keberpihakan negara, pelaku kecil tak mungkin naik kelas. Namun kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia cenderung menganut logika laissez-faire yang justru memperbesar kesenjangan.

Dalam rancangan undang-undang yang baru dan nasionalistik ini harus menegaskan posisi negara sebagai custodian yaitu penjaga arah ekonomi nasional—seperti prinsip yang dirumuskan dalam hakekat dan fungsi perekonomian nasional para pendiri republik. Itu yang membedakannya dengan negara kolonial buatan penjajah.

Kebocoran besar juga terjadi pada perdagangan ekspor rempah dan herbal yang menjadi komoditas strategis global. Sekitar 30–40 persen aktivitas ekspornya tidak tercatat secara resmi, menguap lewat jalur tidak langsung atau manipulasi harga kontrak. Data dan peta jalannya absen dan catatan pengembangannya tak memenuhi nilai pancasila yang pro-kemanusiaan dan keadilan sosial.

Nilai kehilangan ini mencapai triliunan rupiah per tahun, namun negara memilih diam. Padahal sektor ini seharusnya menjadi wajah kedaulatan ekonomi sekaligus strategis Indonesia di pasar dunia. Tanpa sistem pengawasan dan audit perdagangan yang transparan, rempah, herbal dan jamu justru menjadi simbol paradoks: kekayaan melimpah, tetapi keuntungan bocor keluar negeri.

Paradoks juga muncul dari cara kita memahami ekspor sebagai indikator kemajuan. Peningkatan volume ekspor tidak otomatis mencerminkan kesejahteraan nasional bila komoditas yang dijual tidak memiliki nilai tambah tinggi.

Dalam praktik, 70% ekspor UMKM masih berbentuk bahan mentah atau barang setengah jadi. Artinya, setiap keberhasilan ekspor justru memperkaya negara pembeli yang mengolahnya kembali. Rancangan undang-undang perekonomian nasional kita seharusnya memperkuat kewajiban value creation domestik sebelum izin ekspor diberikan.

Dalam kerangka teori pembangunan strukturalis (Chang, 2002), negara harus berperan aktif melindungi sektor produktif dari dominasi pasar global. Itu berarti kebijakan ekspor tidak bisa dilepaskan dari kebijakan industri dan teknologi nasional. Hilirisasi harus diposisikan bukan sebagai jargon, tetapi sebagai mandat hukum yang wajib diterapkan. Tanpa itu, ekspor hanya menjadi jalan cepat menuju deindustrialisasi.

Singkatnya, rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional menawarkan momentum koreksi historis: mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung, pengarah, dan penguat ekonomi rakyat. Koperasi dan UMKM bukan pelengkap statistik, melainkan pusat gravitasi kemandirian.

Dengan begitu, paradoks ekonomi nasional hanya bisa diakhiri jika perdagangan luar negeri dijalankan dengan prinsip kedaulatan ekonomi di mana setiap transaksi luar negeri adalah alat memperkuat produksi dalam negeri, bukan mengurasnya. Inilah salah satu cara menjadi negara kaya dan bermartabat. Mestakung.

Exit mobile version