JAKARTA, Mediakarya – Analis politik Center for Public Polcy Studies Indonesia (CPSSI) Agus Wahid menilai perseteruan Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri versus Jokowi akhirnya tak bisa ditutup-tutupi lagi.
Jokowi yang merupakan sosok yang pernah dibesarkan PDIP sejak diantar menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI dan Presiden RI dua periode ini semakin “menantang” kepada partai yang membesarkan dan mengamankannya.
Perilaku dan manuver politiknya semakin membuat gerah, apalagi telah membawa gerbong keluarga yang merampas paksa hak politik anak bangsa. Bahkan, gerakan terencana dan sistematis “dinasti’ Jokowi juga kian menunjukkan taringnya pasca tidak menjabat Presiden.
Kendati Jokowi telah dipecat dari kader PDIP, namun Agus menilai mantan Wali Kota Solo itu semakin “gede rasa”, karena merasa kiprah politiknya masih powerful, dan merasa sebagai the real president, meski secara formal sudah diganti Prabowo.
“Perasaan itu setidaknya ditandai dengan Prabowo masih mau soan ke Solo. Atau, Prabowo masih menerima dengan terbuka kehadiran Jokowi. Pertemuan itu tak pernah sunyi dari terjemahan Jokowi bukan hanya masih memiliki pengaruh terhadap mantan pembantunya, tapi potensi mempengaruhi Prabowo,” ujar Agus kepada Mediakarya, Rabu (18/12/2024).
Menurut Agus, selain memecat Jokowi, Megawati disarankan juga untuk mendorong kadernya di parlemen agar mendesak aparat penegak hukum mengungkap sejumlah kejahatan yang pernah dilakukan Jokowi.
Berangkat dari kebijakannya yang merampas hak-hak rakyat dalam kaitan ekonomi, sosial, politik, persekusi dan kriminalisasi yang dilakukan, penabrakan hukum dan konstitusi, sampai abuse of power dirinya sekeluarga dalam kaitan penambangan, sampai ke ijazah palsunya, semua itu bisa dijadikan gerakan nasionalistik untuk mendera Jokowi secara legal formal.
“Yang perlu dicatat, PDIP punya instrumen kekuasaan formal, setidaknya di parlemen. Bahkan, sebagian di panggung lembaga eksekutif. Para kader PDIP haruslah menjadi kekuatan strategis untuk melawan hegemoni Jokowi dan kroninya,” ujar Agus.
Selain itu, bersama elemen kader dan strukturalnya di parlemen dan atau lembaga eksekutif, PDIP juga tahu adanya perlawanan rakyat dari kekuatan civil society, dari berbagai elemen dan strata.
Sinergitas kedua barisan ini sungguh potensial untuk memaksa lembaga-lembaga pemerintahan (kejaksaan, pengadilan dan KPK) untuk melakukan pressure optimal. Hanya satu tujuannya: menggiring sang Jokowi ke lembaga peradilan. Juga, memaksa agar para hakim benar-benar menegakkan hukum yang transparan dan berkeadilan,’ katanya.
Jika perlu, kedua barisan ini melakukan pressure agar pimpinan Polri saat ini dan mantan Kapolrinya (Tito Karnavian) terlepas dari posisinya sebagai pion-pion peliharaan Jokowi. Dengan tiadanya back up kekuatan itu, Jokowi akan sangat mudah digiring dan diproses posisi hukumnya.
“Yang perlu digaris-bawahi, PDIP punya pasukan “gorong-gorong” yang ultranasionalis ekstrim. Pasukan ini jika disinergikan dengan elemen civil society yang sudah geram akan menjadi kekuatan penegakan hukum. Akan mampu mendobrak keloyoan hakim karena takut,” jelasnya.
Kedua komponen rakyat di bawah komando PDIP dan aktivis nasionalis sejati akan sangat mudah mengakhiri hegemoni dan kecongkakan Jokowi dan para kroninya. Lebih dari itu, kedigdayaan oligarki pun akan ikut runtuh seiring dengan runtuhnya Jokowi and his geng.
Lebih lanjut, Agus mengatakan bahwa secara paralel, Megawati perlu melakukan komunikasi khusus dengan Prabowo. Agar langkah taktisnya membungkam dan mengakhiri Jokowi tidak dihalangi. Kalau perlu minta dukungan kekuatan politik khusus. Agar di lapangan justru mendapat back up TNI.
“Hal ini untuk mengantisipasi perlawanan Brimob yang notabene banyak dalam cengkeraman pengaruh Jokowi, setidaknya kalangan oligarki. Andai Prabowo nasionalis sejati, steril dari bayang-bayang oligarki dan anti komunis, maka ikhtiar lobby politik Megawati harusnya direspon positif, bukan sebaliknya. Inilah saatnya mengakhiri langkah Jokowi yang dinilai telah merusak demokrasi,” katanya.
Oleh karena itu, sebelum Jokowi terlalu jauh menunjukkan kekuatan pengaruhnya secara formal pasca lengser, PDIP harus menggandeng kekuatan civil society guna mengakhiri langkah Jokowi yang dinilai telah mengakibatkan negeri ini sudah dalam cengkeraman oligarki dan kekuatan komunis gaya baru.**