Cegah Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Dalam Kasus Aliran Dana Kelompok Jamaah Islamiyah

Lebih lanjut, “Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme selama ini dilakukan secara konvensional, yakni dengan menghukum para pelaku tindak pidana terorisme. Untuk dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme secara maksimal, perlu diikuti upaya lain dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana karena tindak pidana terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa didukung oleh tersedianya dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Pendanaan terorisme bersifat lintas negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan melibatkan Penyedia Jasa Keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme”.

Mengingat dalam kasus aliran dana terhadap kelompok teroris JI telah melibatkan korporasi, maka pengenalan pengguna manfaat dari korporasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 (Perpres) tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi sangat relevan. Semangat hukum yang mendasari dibuatnya Perpres  No. 13 Tahun 2018 tersebut, tidak lepas dari adanya perkembangan tindak pidana yang memanfaatkan korporasi sebagai sarana untuk melakukanTindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Keluarnya Perpres  No. 13 Tahun 2018 adalah dalam rangka adaftasi dengan konsep Bebeficial Owner (BO) yang diatur dalam  rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) mengenai Transparansi dan pemilik manfaat korporasi. Untuk keperluan itu, negara-negara harus mengambil langkah tindakan pencegahan atas penyalahgunaan korporasi untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris.

Mengingat dalam penggalangan dana untuk keperluan operasional kelompok teroris, tidak jarang menggunakan organisasi nir laba.  Negara-negara harus mengkaji kecukupan atas peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai badan usaha yang dapat disalahgunakan untuk pendanaan terorisme. Organisasi nir laba sangat rentan, karenanya pemerintah harus menjamin agar mereka tidak dapat disalahgunakan oleh organisasi teroris  untuk mengeksploitasi korporasi sebagai sarana untuk pendanaan teroris, termasuk untuk tujuan menghidari asset dari upaya-upaya pemblokiran dan  menyembunyikan atau menyamarkan pengiriman dana gelap yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan kepentingan organisasi teroris.

Sarana pengiriman dana dalam perkembangannya, dapat dilakukan tanpa menggunakan jasa keuangan sebagai suatu alternatif (Alternative Remittance). Pada dasarnya diakui bahwa, Alternative Remittance dapat membantu proses pengiriman uang antar negara yang dilakukan yang mengalami kesulitan untuk memperoleh akses ke jasa keuangan resmi seperti bank. Menurut PPATK, dipilihnya Alternative Remittance tersebut adalah sebagai alternative dalam pengiriman uang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain relatif rendahnya biaya pengiriman dan relatif lebih cepatnya waktu penyampaian uang kepada penerima dibandingkan dengan jasa transfer yang disediakan secara resmi oleh industri keuangan.

Dengan demikian, persoalan awalnya adalah akses ke jasa keuangan resmi seperti bank, dan pilihan biaya pengiriman yang rendah dibanding jika dilakukan melalui jasa keuangan yang resmi tersebut. Padahal, sampainya pengiriman ditempat tujuan sama saja atau bahkan mungkin lebih cepat melalui jasa pengiriman alternatif tersebut. Dalam kondisi yang demikian, tentu menimbulkan faktor kriminogin, karena jasa Alternative Remittance dapat disalahgunakan oleh sebagian orang untuk kegiatan pencucian uang atau pendanaan kegiatan terorisme.

Exit mobile version