Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Negara yang diisi oleh kaum miskin itu negara gagal: mengkhianati para pendiri republik dan melupakan konstitusi serta jadi “negeri kerdil.” Dus, menghapus kemiskinan-pemiskinan itu “panggilan suci sekaligus jihad akbar dalam berIndonesia.” Karena itu, sistem ekonomi Pancasila menempatkan program penghapusan kemiskinan-pemiskinan sebagai tema pokok dan program utama. Hal ini karena, ekonomi Pancasila bukan sekadar pendekatan kebijakan, melainkan sistem ideologis yang menjadikan keadilan sosial sebagai prinsip utama. Dalam keadilan sosial, tak mungkin ditemukan kemiskinan dan kaum miskin: apalagi pemiskinan.
Dalam sistem ini, kemiskinan tidak dipandang sebagai persoalan teknis semata, melainkan sebagai peristiwa ideologis dan “akibat dari struktur ekonomi” yang jahat karena gagal berpihak kepada warga-negara. Oleh karena itu, penghapusan kemiskinan tidak cukup dilakukan melalui program karitatif atau intervensi sektoral, melainkan harus menjadi bagian dari desain sistemik yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Ialah ukuran keberhasilan “pemerintah” saat berkuasa.
Kemiskinan dalam pandangan ekonomi Pancasila tidak hanya berarti kekurangan materi, tetapi juga keterasingan warga-negara dari manfaat pembangunan. Ia merupakan produk dari sistem ekonomi yang membiarkan akumulasi kekayaan tanpa pemerataan, serta mengabaikan prinsip kolektivitas dan gotong royong. Selama kemiskinan dibiarkan bertahan, sistem ekonomi tidak dapat disebut Pancasilais secara substantif. Lebih parah lagi kini kemiskinan dijadikan sinetron dan hiburan, artefak dan musium yang dipelihara karena ideologi neoliberal yang tamak dan serakah di elite kita.
Pemikiran bahwa kemiskinan adalah keterasingan sejalan dengan gagasan ekonom jenius Mubyarto, tokoh utama perumus ekonomi Pancasila, yang menolak paham ekonomi sebagai ilmu yang netral dan bebas nilai. Menurutnya, ekonomi adalah alat kebijakan yang harus diarahkan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam kerangka tersebut, kemiskinan merupakan bukti dari kegagalan sistemik, bukan kegagalan individu. Maka dari itu, pembangunan ekonomi tidak hanya harus tumbuh, tetapi juga berkwalitas, adil, swasembada dan berpihak kepada semua-semesta.
Presiden Soekarno, dalam berbagai pidato dan naskah politiknya, secara konsisten menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat terwujud jika rakyat terbebas dari kemiskinan dan eksploitasi. Itulah mengapa kita mendirikan negara. Bukan sembarang negara, melainkan negara pancasila. Melalui gagasan berdikari dalam bidang ekonomi, ia mengingatkan bahwa sistem ekonomi Indonesia tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan pasar atau modal asing. Warga-negara harus menjadi pelaku utama, bukan objek dari pembangunan. Merekalah penentu, aktor independen dan utama.
Pandangan serupa dikemukakan oleh wapres Mohammad Hatta. Sejak awal, ia telah memperjuangkan ekonomi kerakyatan sebagai jalan untuk membebaskan warga-negaranya dari kemiskinan kultural dan struktural. Menurut Hatta, kekuatan ekonomi warga-negara terletak pada koperasi dan usaha bersama, bukan pada dominasi kapital individu atau korporasi besar. Hal ini karena kemiskinan dan pemiskinan hanya bisa diberantas bila semua warga-negara memperoleh akses yang setara, adil dan seirama terhadap alat produksi, sumber daya, permodalan dan pasar.
Secara teoritis, pemikiran ini memiliki kesesuaian dengan pendekatan capability yang dikembangkan oleh Amartya Sen (1933). Menurut Sen, kemiskinan bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, melainkan tentang keterbatasan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Oleh karena itu, sistem ekonomi yang Pancasilais harus memastikan bahwa setiap warga-negara memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, pangan bergizi, papan dan lingkungan hidup yang aman.
Penghapusan kemiskinan secara sistemik berarti melakukan perubahan menyeluruh terhadap struktur dan arah pembangunan. Sudahi rezim pasar yang gagal; singkirkan ekonom hit-man yang khianat; balik arah ke konstitusi dan jati diri. Tentu saja, ini mencakup reformasi agraria, redistribusi aset produktif, sistem perpajakan yang super progresif, dan penguatan kelembagaan ekonomi warga-negara. Negara tidak bolah bersikap netral dalam menghadapi kemiskinan dan pemiskinan. Dalam kerangka ekonomi Pancasila, negara harus aktif-progresif berpihak kepada yang lemah (difabel, bodoh, marjinal) dan membatasi dominasi ekonomi oleh kekuatan oligarki. Negara Pancasila itu memastikan “keadilan sosial dan kesejahteraan bersama” sebagai ultima, dengan segala cara (agensi, metoda, struktur dan kulturnya).
Sayangnya, kebijakan ekonomi yang berlaku saat ini masih terlalu teknokratis bahkan liberalis bin predatoris. Kemiskinan diperlakukan sebagai variabel statistik yang ditangani dengan pendekatan manajerial, bukan sebagai kegagalan sistemik yang harus dikoreksi secara struktural. Padahal, pembangunan ekonomi tanpa arah ideologis hanya akan memperdalam ketimpangan dan memperluas eksklusi sosial. Hal yang dikutuk oleh kita semua sebagai warisan colonial.
Di atas segalanya, ekonomi Pancasila tidak dapat dijalankan setengah hati, apalagi main-main. Ia membutuhkan keberpihakan yang jelas dalam perencanaan, penganggaran, kelembagaan, dan keberanian politik untuk melakukan revolusi, serta konsistensi dalam memastikan bahwa seluruh instrumen pembangunan berpihak kepada keadilan. Tanpa itu, ekonomi hanya akan menjadi alat akumulasi bin kolonisasi, bukan alat pembebasan.
Kemiskinan dan pemiskinan tidak dapat diatasi dengan belas kasihan, tetapi dengan restrukturisasi sistem. Dalam ekonomi Pancasila, kemiskinan bukan sekadar masalah sosial, melainkan persoalan ideologis yang mencerminkan apakah sistem ekonomi yang dijalankan sejalan dengan nilai-nilai dasar bangsa atau tidak.
Oleh karena itu, penghapusan kemiskinan dan pemiskinan secara sistemik adalah mandat dari Ekonomi Pancasila, bukan sekadar pilihan kebijakan. Ia merupakan ukuran sejauh mana nilai-nilai dasar negara benar-benar dijalankan dalam praktik ekonomi nasional.
Selama kemiskinan masih berlangsung, selama akses terhadap sumber daya produktif masih tidak merata, dan selama kekuatan pasar lebih dominan daripada prinsip keadilan sosial, maka sistem ekonomi kita belum sepenuhnya berpijak pada fondasi ideologis Pancasila. Selama itu pula kita tak layak menyebut diri sebagai “Negara Pancasila.”